Wayang kulit Bekasi mengadopsi elemen budaya dari Banyumas, termasuk filosofi warna dalam simbol pewayangan: biru melambangkan kekuatan dan kedamaian, merah keberanian, putih kesucian, dan kuning kejayaan. Simbol-simbol ini menjadi bagian dari identitas budaya Bekasi yang unik. Bahkan, ornamen khas seperti umbul-umbul kota menggunakan warna tersebut, bukan pola hitam putih seperti di Bali.
Pentingnya Infrastruktur untuk Kebudayaan
Pembangunan infrastruktur yang mendukung seni dan budaya sangat penting untuk menciptakan ruang di mana kesenian khususnya seni pewayangan dapat terus berkembang. Kota Bekasi perlu memiliki fasilitas khusus, seperti panggung seni atau galeri budaya, yang memungkinkan masyarakat menikmati pertunjukan seni lokal. Pemerintah juga perlu mendorong integrasi elemen budaya dalam desain perkotaan, seperti ornamen jalan dan simbol khas Banyumas, untuk memperkuat identitas budaya kota.
Dalam mendukung pandangan bahwa budaya Bekasi berasal dari Banyumas, R. Iwan Rahmat L, seorang tokoh budaya Bekasi, menyatakan, "Bekasi diselamatkan oleh orang Jawa. Pada saat Gunung Salak dan Pangrango meletus, Bekasi ini tenggelam, Kali Ciliwung tenggelam, dan tidak ada manusia satupun. Yang membersihkan itu orang Jawa, yaitu orang Banyumas. Sri Sultan Agung mengutus masyarakat Banyumas datang ke Bekasi secara sukarela, kali Ciliwung dibersihkan dan dikuras. Jika tidak, bisa jadi Bekasi tidak akan ada. Dari situlah munculnya peradaban, munculnya peradaban itu dari kesenian."
Beliau menambahkan, "Khusus Bekasi, bukan wayang golek tetapi wayang kulit. Kalau Jawa Barat yang lain wayang golek, tetapi khusus Bekasi itu wayang kulit. Dari bajunya dan simbolnya, biru adalah kekuatan dan kedamaian, merah adalah keberanian, putih kesucian, dan kuning adalah kejayaan. Dan itu harus ada simbol dalam pewayangan yang dilakonkan. Umbul-umbul yang ada di Kota Bekasi juga bukan seperti di Bali yang hitam putih, tetapi menggunakan warna yang tadi."
R. Iwan Rahmat L berharap acara pembukaan budaya di Bekasi, seperti wayang kulit dan wayang wong, diiringi dengan umbul-umbul yang sesuai, namun harus diimbangi dengan infrastruktur yang memadai. "Harusnya semua ornamen di Kota Bekasi sesuai dengan budaya aslinya, yaitu Banyumasan. Di pusat kota, dibuatkan wadah kesenian seperti panggung atau ruang kesenian. GOR itu seharusnya dibagi dua, GOR untuk pertunjukan rakyat dan untuk olahraga. Yang bisa menstabilkan keselarasan adalah kebudayaan, yang membuat kita bersatu adalah kebudayaan. Di Kota Bekasi tidak hanya ada Jawa, Betawi, Sunda, tetapi Kota Bekasi adalah kota yang kompleks."
Dalam pertunjukan, dalang di Bekasi disarankan untuk menggunakan bahasa Indonesia agar dapat menjangkau semua lapisan masyarakat di kota yang kompleks ini. Hal ini mencerminkan keberagaman Kota Bekasi, yang terdiri dari berbagai suku, termasuk Jawa, Sunda, dan Betawi.
Kesimpulan
Seni wayang kulit di Kota Bekasi berasal dari transmigrasi masyarakat Banyumas pada abad ke-17, yang membawa tradisi ini ke wilayah Bekasi dan menjadikannya bagian dari identitas budaya lokal. Wayang kulit Bekasi memiliki simbol-simbol khas seperti filosofi warna yang mencerminkan kekuatan, kedamaian, keberanian, kesucian, dan kejayaan, yang membedakannya dari daerah lain di Jawa Barat. Untuk memastikan kelestarian seni ini, diperlukan pengembangan infrastruktur budaya, seperti panggung seni, galeri budaya, dan ruang pertunjukan yang dapat mendukung kegiatan seni lokal. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam pertunjukan wayang sangat penting untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat Bekasi yang beragam, sehingga seni pewayangan tetap relevan dan menjadi simbol persatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H