Lanjut gan
(3) mengintegrasikan angkot dengan moda transportasi lain dengan menetapkan tiket terusan. Cara inilah yang sudah mulai dilakukan di Jakarta di mana angkot kwk menjalin kerjasama dengan transjakarta untuk menjadi angkutan feeder busway. Meski metode ini diklaim mencontek program dari cagub lain, tapi menarik untuk mencermati bagaimana program ini berjalan.
Alternatif lainnya misalnya adalah menjadikan angkot sebagai feeder kereta commuter line (terutama untuk wilayah jadetabek). Atau mengalihkan sebagian trayek ke stasiun kereta api karena di stasiun inilah tempat berkumpulnya calon penumpang. Mempermudah akses penumpang dan menyediakan semacam terminal angkot di stasiun kereta api juga bisa jadi alternatif solusi. Intinya mendekatkan konsumen dengan angkot sebagai penyedia jasa transportasi.
(4) Usulan keempat bisa dibilang agak radikal karena memerlukan perubahan sistem yang sudah lama berlaku di angkutan umum. Salah satu keruwetan dan ketidaktertiban yang terjadi dalam angkutan umum, dalam pandangan ogut, datang dari sistem kejar setoran. Supir angkutan umum dibebani dengan keharusan untuk memenuhi setoran. Faktor ini yang membuat angkutan umum sering ngetem dan ugal-ugalan dalam mencari bahkan memperebutkan penumpang.
Jadi, sedikit beralasan jika penertiban angkutan umum harusnya dimulai dari perubahan sistem kejar setoran ini. Jika angkutan umum sudah lebih tertib, saya berani menjamin konsumen atau calon penumpang bakal kembali mengandalkan angkutan umum sebagai moda transportasi mereka.
Salah satu bentuk pembenahan sistem angkutan umum adalah (kalo boleh ogut meminjam konsep orang lain) sebagaimana usulan dari calon gubernur yang sedang bertarung dalam pilkada DKI Jakarta 2017 ini. Usulan program dari cagub no. 3 ini diberi nama OK Otrip. Ini bukan kampanye lho tapi kebetulan aja program dari cagub ini sesuai dengan ide dan pemikiran ogut hehe 😉😎
Berdasarkan artikel di CNN Indonesia, lewat OK Otrip ini pengguna bisa menumpang transportasi publik Jakarta hanya dengan sekali bayar Rp5.000,- alias goceng. Konsep pembayaran nantinya diterapkan melalui sistem karcis terusan dan berlanjut ke sistem elektronik mengandalkan kartu tap.
Penyedia transportasi angkutan umum akan menerima uang dari Pemprov DKI sesuai dengan jarak yang ditempuh kendaraan saat beroperasi. Dengan begitu sistem setoran hilang dan penyedia (angkutan umum) mendapatkan uang berdasarkan hitungan jarak.
Secara sekilas, kita bisa pahami bahwa sistem OK Otrip ini bakal mengeliminasi sistem setoran. Sebagai ganti setoran, supir dan pemilik angkot mendapat bayaran berdasarkan jarak yang ditempuh dan dibayarkan oleh pemerintah daerah. Buat ogut, ini hal yang menarik dan berharap bisa diterapkan oleh siapa pun yang menjadi kepala daerah di mana pun juga.
Sebagai sebuah institusi bisnis jasa, operator angkot perorangan perlu menyadari bahwa lingkungan bisnis senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Operator juga mesti siap menghadapi perubahan zaman ini dan siap beradaptasi agar bisa bertahan dan bersaing.
Dukungan dari pemerintah daerah juga diperlukan karena masalah transportasi menyangkut kepentingan masyarakat banyak yang menjadi bagian dari tanggung jawab mereka.
Â