Mohon tunggu...
Bayu Septi Mingga
Bayu Septi Mingga Mohon Tunggu... Bidang Pertanian -

Full time a writter and reader, Part time a traveller. nothing tendency cause i have my own way

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pentingkah Bioskop di Aceh? antara Kreatifitas dan Syahwat

13 Juli 2014   22:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:26 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kreatifitas itu sampai mati mungkin itu suatu kata dari wahyu aditya pendiri Hello Motion dalam bukunya Kreatif Sampai Mati. Banyak cara menunjukan kreatifitas, mulai dari menggambar, IT, percetakan, dan lain-lain. Kemarin ada sebuah momok, sebenarnya sih sudah lama tentang ini yaitu pembuatan bioskop di tanah rencong Aceh. Pernah ada bioskop di Banda Aceh, dulu tapi ya habis sekarang ini tak tahu apa yang terjadi kenapa bisa terjadi berlalu seperti itu saja.

Apresiasi pada akhir-akhir tahun ini terhadap gencarnya para pemuda di Banda Aceh  dan didukung juga oleh Bu walikota Illiza untuk setidaknya ada pertunjukan film atau bioskop sebagai tempat menuangkan ide kreatifitas film nya di sebuah layar lebar dan ditonton oleh masyarakat, tidak seperti sekarang yang hanya diputar di warung-warung kopi seperti kemarin membuat diskusi pertama kali mengenai #BioskopUntukBNA yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Padahal menilik kreatifitas anak-anak Aceh dalam perfilman sudah sangat baik contohnya dalam Eagle Award Metro TV selalu mendapat juara dan sering juga diadakannya pemutaran film eropa, terakhir oleh Komunitas Tikar Pandan. Sudah seharusnya ada tempat itu, BIOSKOP!!

Sejarah bioskop

Bioskop atau pertunjukan film dalam sebuah ruangan dan pertama kali dilakukan oleh Lumiere bersaudara. Auguste Lumiere dan Louis Lumiere menciptakan alat cinematographe yang merupakan modifikasi kinetoscope (alat untuk melihat gambar bergerak dengan cara mengintip dari satu lubang) ciptaan Thomas Alva Edison.

Lumiere membuat alat itu mampu memproyeksikan gambar bergerak sehingga bisa di nikmati secara bersama-sama. Pada 28 Desember 1895, untuk pertama kalinya puluhan orang berada didalam suatu ruangan menonton film yang diproyeksikan ke sebuah layar lebar.

Lumiere bersaudara menyewa sebuah ruang bilyard tua di bawah tanah di Boulevard des Capucines, Paris, yang kemudian dikenal sebagai bioskop pertama di dunia. Tempat tersebut kemudian dikenal sebagai Grand Cafe dan menjadi tempat paling populer di Eropa.

Sedangkan di Indonesia sendiri gejolak bioskop atau sangat hegemoni yaitu pada tahun 1970-1980 an. Untuk lebih tau tentang sejarah bioskop di Indonesia dari zaman kolonial Belanda bisa kesini

Tapi sekarang ini pemain besar dalam industri bioskop ini adalah Cineplex21 atau XXI dan Blitzmegaplex. Sekitar 7 dari 33 provinsi di Indonesia belum disinggahi mereka untuk menanamkan saham demi untuk penggemar film salah satunya Banda Aceh. Kenapa mereka tidak singgah? atau tidak ada yang mau kerja sama dengan mereka? padahal bisnis bioskop ini untungnya sangat besar dan dapat membatu perekonomian daerah tersebut.

Kreatifitas dan Syahwat

Ada sebuah kata dari pemuda Aceh ketika saya mengubrik tentang tulisan ini, "Bioskop tidak bisa dibangun disini karena nanti akan ada yang berbuat mesum, pelecehan seksual, atau curi-curi kesempatan pegang tangan hawa, ini kota Syariah,"

Apakah karena alasan itu saja? alasan dari satu cabang dan tidak melihat cabang-cabang lain bisa jadi lebih baik? Padahal sudah lebih dari 20 Film yang saya tonton di Bioskop tidak pernah ada kejadian pelecehan seksual atau mesum, pegangan tangan orang pacaran? Hayoo, siapa yang tidak pernah melihat pemuda-pemudi di jalan pegangan tangan di Banda Aceh? toh, sama kan?

"Bagaimana jika di film-film ada adegan tidak senonoh seperti ciuman dan lain sebagainya?" sebelum tonton lebih baik review dulu filmnya jika nonton sama anak-anak anda lebih baik cari film yang bertema keluarga seperti film animasi. Kalau anda sendiri ya cari film yang menurut anda sesuai dengan anda. Adek saya aja yang dibawah 17 tahun terpaksa harus batal nonton saat The Raid 2 bergejolak, karena tidak diperbolehkan.

Kalau mengenai syahwat atau khalwat yang ditakutkan, itu terletak pada masyarakatnya "personal" itu sendiri. Jika dia tahu itu bioskop untuk menonton film dan bukan ajang menaruh syahwat pasti dia ngerti tapi kalau orangnya yang memang begitu ya orang begini harus dibina dan di sosialisasikan. Jangan terlalu otrodoks dalam melihat sebuah ke modernan. Toh banyak film-film baik seperti Ayat-ayat cinta, habibie dan Ainun, Ketika Cinta Bertasbih dengan penonton berjumlah 3-5 juta dan ini sangat layak ditonton bersama keluarga. Mereka (pemuka agama) juga nonton dibioskop lo film ini bukan di laptop atau DVD dari hasil bajakan. Masalah takut adanya Khalwat yang menimbulkan syahwat itu dari orang yang nonton, jika postif dalam otaknya ya positif dan jika sebaliknya maka harus diberi bimibingan.

Bioskop seperti apa yang cocok?

Sekarang harus ditelaahnya adalah, Bioskop seperti apa yang cocok dibuat di Banda Aceh, apakah seperti kota lain dengan kerjasama dengan Cineplex21 atau Blitzmegaplex? atau sebuah teater untuk film-film lokal Aceh, seperti dokumenter, film indie, atau jika emang serius bisa buat film layar lebar nasional dan nantinya bisa dipertontonkan keseluruh masyarakat Aceh dan berkata "Ini lo, film anak Aceh yang tak kalah dengan film luar! silahkan menonton" menarik bukan??

1. Jika ingin kerjasama dengan dua pemain terbesar itu maka harus merogoh kocek sebesar 4 Milyar untuk satu layar. Serta film-film yang diputar merupakan hasil pilihan sendiri dan bekerja sama dengan produsen film didalam negeri atau mau film impor semua bisa dibuat regulasinya oleh si pemilik, maka dari situ yang saya anjurkan pemilik bioskop ini adalah pemerintah daerah Banda Aceh sendiri dan jangan pemilik pribadi/seseorang. Jika punya pribadi/seseorang maka film yang akan diambilnya merupakan film kehendaknya yang bisa dapat untung dari film tersebut bisa jadi film-film tanpa sensor pun ditayangkan sehingga harus kembali "Syariah" dikorbankan. Jika Pemda Banda Aceh yang memegang hak pemutaran film maka sudah dapat berkonsolidasi sama produsen film nasional atau impor mana yang layak ditayangkan.

2. Jika ingin membuat sebuah teater yang mana dapat menampilkan film-film hasil garapan anak-anak Aceh maka yang harus dikorbakan adalah "Bisnis" dan lebih mengedapankan "kreatifitas". Masalahnya, tetap jika ada film nasional atau luar yang sudah tayang di tanah air pastinya mereka lari ke Medan untuk menonton, ini sama saja seperti sekarang tidak ada berubahnya. Bukankah permasalahan itu juga menjadi suai acuan pendirian bioskop karena ada anak muda Banda Aceh yang rela rogoh kocek 1 juta demi 1 film untuk nonton di Medan, padahal perputaran uang di Bioskop contoh Plaza Senayan Jakarta 5 Milyar-7.5 Milyar per bulan. Jika memang dibangun suatu teater maka anak-anak Aceh yang kreatif dalam dunia seni gambar bergerak harus lebih gencar belajar dan peluang film anda ditayangkan sangat besar. Kalau mau professional dalam teater ini juga bisa, dibuat regulasi film yang boleh tayang dan hasil penjualan tiket bisa dibagi sebagaimana peraturan. Tapi gedung yang dibangun harus sangat istimewa dan tidak hanya tempat nonton film aja yang ada tapi seperti gallery seni anak-anak Aceh.

3. Penggabungan dua opsi di atas dengan membuat bioskop sendiri (indie) layaknya bioskop lawas jaman dahulu. Jadi bisa menonton film layar lebar nasional atau import dan juga sebagai pemutaran film anak Aceh. Kalau jika ini dibuat harus ada pihak dimana dapat bekerjasama dengan produsen film nasional dan import untuk peyayangan film mereka, ini yang beratnya karena biasanya mereka (produsen film) sudah percaya sama dua pemain terbesar tersebut cineplex21 dan Blitzmegaplex karena mereka juga takut rugi bila film tersebut tidak diberi izin tayang.

Oleh karena itu, apakah penting bioskop di Aceh atau khususnya Banda Aceh sebagai ibukota provinsi Aceh. Berbagai pihak seharusnya dapat merundingkan ini Pemda Banda Aceh dan pihak berwenang lainnya. Memang, untuk kreatifitas tidak harus bioskop tapi kena tidak bioskop ini dijadikan yang pertama. Permaslahan syahwat hasil dari khalwat itu terletak pada orangnya bukan objeknya, karena kita tidak menutup mata fenomena hotel yang bernama dewi yunani itu.

Pentingkah bioskop? kreatifitas atau syahwat? pikirkan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun