Mohon tunggu...
Bayu Septi Mingga
Bayu Septi Mingga Mohon Tunggu... Bidang Pertanian -

Full time a writter and reader, Part time a traveller. nothing tendency cause i have my own way

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pentingkah Bioskop di Aceh? antara Kreatifitas dan Syahwat

13 Juli 2014   22:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:26 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana jika di film-film ada adegan tidak senonoh seperti ciuman dan lain sebagainya?" sebelum tonton lebih baik review dulu filmnya jika nonton sama anak-anak anda lebih baik cari film yang bertema keluarga seperti film animasi. Kalau anda sendiri ya cari film yang menurut anda sesuai dengan anda. Adek saya aja yang dibawah 17 tahun terpaksa harus batal nonton saat The Raid 2 bergejolak, karena tidak diperbolehkan.

Kalau mengenai syahwat atau khalwat yang ditakutkan, itu terletak pada masyarakatnya "personal" itu sendiri. Jika dia tahu itu bioskop untuk menonton film dan bukan ajang menaruh syahwat pasti dia ngerti tapi kalau orangnya yang memang begitu ya orang begini harus dibina dan di sosialisasikan. Jangan terlalu otrodoks dalam melihat sebuah ke modernan. Toh banyak film-film baik seperti Ayat-ayat cinta, habibie dan Ainun, Ketika Cinta Bertasbih dengan penonton berjumlah 3-5 juta dan ini sangat layak ditonton bersama keluarga. Mereka (pemuka agama) juga nonton dibioskop lo film ini bukan di laptop atau DVD dari hasil bajakan. Masalah takut adanya Khalwat yang menimbulkan syahwat itu dari orang yang nonton, jika postif dalam otaknya ya positif dan jika sebaliknya maka harus diberi bimibingan.

Bioskop seperti apa yang cocok?

Sekarang harus ditelaahnya adalah, Bioskop seperti apa yang cocok dibuat di Banda Aceh, apakah seperti kota lain dengan kerjasama dengan Cineplex21 atau Blitzmegaplex? atau sebuah teater untuk film-film lokal Aceh, seperti dokumenter, film indie, atau jika emang serius bisa buat film layar lebar nasional dan nantinya bisa dipertontonkan keseluruh masyarakat Aceh dan berkata "Ini lo, film anak Aceh yang tak kalah dengan film luar! silahkan menonton" menarik bukan??

1. Jika ingin kerjasama dengan dua pemain terbesar itu maka harus merogoh kocek sebesar 4 Milyar untuk satu layar. Serta film-film yang diputar merupakan hasil pilihan sendiri dan bekerja sama dengan produsen film didalam negeri atau mau film impor semua bisa dibuat regulasinya oleh si pemilik, maka dari situ yang saya anjurkan pemilik bioskop ini adalah pemerintah daerah Banda Aceh sendiri dan jangan pemilik pribadi/seseorang. Jika punya pribadi/seseorang maka film yang akan diambilnya merupakan film kehendaknya yang bisa dapat untung dari film tersebut bisa jadi film-film tanpa sensor pun ditayangkan sehingga harus kembali "Syariah" dikorbankan. Jika Pemda Banda Aceh yang memegang hak pemutaran film maka sudah dapat berkonsolidasi sama produsen film nasional atau impor mana yang layak ditayangkan.

2. Jika ingin membuat sebuah teater yang mana dapat menampilkan film-film hasil garapan anak-anak Aceh maka yang harus dikorbakan adalah "Bisnis" dan lebih mengedapankan "kreatifitas". Masalahnya, tetap jika ada film nasional atau luar yang sudah tayang di tanah air pastinya mereka lari ke Medan untuk menonton, ini sama saja seperti sekarang tidak ada berubahnya. Bukankah permasalahan itu juga menjadi suai acuan pendirian bioskop karena ada anak muda Banda Aceh yang rela rogoh kocek 1 juta demi 1 film untuk nonton di Medan, padahal perputaran uang di Bioskop contoh Plaza Senayan Jakarta 5 Milyar-7.5 Milyar per bulan. Jika memang dibangun suatu teater maka anak-anak Aceh yang kreatif dalam dunia seni gambar bergerak harus lebih gencar belajar dan peluang film anda ditayangkan sangat besar. Kalau mau professional dalam teater ini juga bisa, dibuat regulasi film yang boleh tayang dan hasil penjualan tiket bisa dibagi sebagaimana peraturan. Tapi gedung yang dibangun harus sangat istimewa dan tidak hanya tempat nonton film aja yang ada tapi seperti gallery seni anak-anak Aceh.

3. Penggabungan dua opsi di atas dengan membuat bioskop sendiri (indie) layaknya bioskop lawas jaman dahulu. Jadi bisa menonton film layar lebar nasional atau import dan juga sebagai pemutaran film anak Aceh. Kalau jika ini dibuat harus ada pihak dimana dapat bekerjasama dengan produsen film nasional dan import untuk peyayangan film mereka, ini yang beratnya karena biasanya mereka (produsen film) sudah percaya sama dua pemain terbesar tersebut cineplex21 dan Blitzmegaplex karena mereka juga takut rugi bila film tersebut tidak diberi izin tayang.

Oleh karena itu, apakah penting bioskop di Aceh atau khususnya Banda Aceh sebagai ibukota provinsi Aceh. Berbagai pihak seharusnya dapat merundingkan ini Pemda Banda Aceh dan pihak berwenang lainnya. Memang, untuk kreatifitas tidak harus bioskop tapi kena tidak bioskop ini dijadikan yang pertama. Permaslahan syahwat hasil dari khalwat itu terletak pada orangnya bukan objeknya, karena kita tidak menutup mata fenomena hotel yang bernama dewi yunani itu.

Pentingkah bioskop? kreatifitas atau syahwat? pikirkan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun