Radikalisme, Ekstremisme, dan Fundamentalisme. Ketiga istilah ini sering digunakan secara bergantian, tetapi memiliki perbedaan yang signifikan. Radikalisme merujuk pada keinginan untuk melakukan perubahan mendasar dalam sistem sosial, politik, atau agama. Ekstremisme, di sisi lain, merujuk pada tindakan atau keyakinan yang berada di luar batas moderasi dan cenderung menggunakan cara-cara berlebihan. Sementara fundamentalisme lebih terkait dengan sikap yang kaku dalam mempertahankan ajaran dasar agama atau ideologi, menolak interpretasi yang lebih modern atau liberal.
Tidak semua gerakan yang dianggap radikal atau ekstrem bersifat negatif. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, misalnya, pernah dianggap radikal karena menuntut perubahan besar dalam struktur sosial. Namun, karena perjuangannya dilakukan secara damai dan menghormati hak asasi manusia, ia sekarang dianggap sebagai gerakan yang positif.
Dalam beberapa dekade terakhir, muncul bentuk terorisme baru yang disebut eco-terorisme, di mana individu atau kelompok menggunakan kekerasan atau perusakan properti untuk melindungi lingkungan alam. Eco-terorisme sering kali dipicu oleh keyakinan bahwa tindakan radikal diperlukan untuk menghentikan eksploitasi lingkungan oleh perusahaan, pemerintah, atau individu.
Eco-terorisme ini, yang sering kali terinspirasi oleh pemikiran "deep ecology," menekankan bahwa perubahan mendasar dalam hubungan antara manusia dan alam diperlukan untuk mencapai keseimbangan ekologis sejati. Hal ini mencakup penghentian kegiatan manusia yang dianggap eksploitatif, bahkan jika harus menggunakan cara-cara kekerasan.
Sejarawan Yuval Noah Harari memberikan pendekatan menarik untuk menghadapi terorisme. Harari menekankan bahwa salah satu langkah pertama adalah jangan panik. Terorisme hanya berhasil ketika publik menjadi panik dan media memberikan sorotan berlebihan terhadap aksi kekerasan. Harari juga mengingatkan bahwa langkah paling efektif untuk melawan terorisme adalah dengan mengambil tindakan secara diam-diam dan menghindari pemberitaan yang histeris.
Jika kita memahami ini dalam konteks Indonesia, tantangan utamanya adalah bagaimana media dapat menghindari pemberitaan yang memicu kepanikan tanpa kehilangan fungsi kontrolnya terhadap pemerintah. Tindakan pemerintah dalam meredam terorisme tidak bisa terlepas dari keterlibatan media, tetapi harus ada keseimbangan dalam peliputannya agar tidak menambah ketakutan publik.
Daftar Pustaka
Beck, Ulrich. (2006). The Cosmopolitan Vision. Polity Press.
Cneyt Kl, Semanur Soyyiit, Yilmaz Bayar, & Festus Victor Bekun. (2024). Exploration on terrorism, ecological footprint and environmental sustainability in countries with the most terrorism antecedent: Accessing evidence from panel fourier analysis. Heliyon, 10(1), e22849--e22849. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e22849
Giddens, Anthony. (1991). Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Polity Press.
Gus Dur (Abdurrahman Wahid). (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Kompas.