Mohon tunggu...
Renaldi Bayu
Renaldi Bayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - I'm a Student of Accounting at Udayana University.

@malleumiustitiae @refknow (Enjoy Writing, Reading and Dialectics)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Salah Kaprah Pemahaman Tentang: Terorisme, Radikalisme, dan Intoleransi

25 Oktober 2024   01:41 Diperbarui: 25 Oktober 2024   01:53 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dokumen pribadi

Dari sudut pandang pemikiran Kant dalam karya terkenalnya yakni Critique of Pure Reason, dalam bahasa Jerman nya Kritik der reinen Vernunft, terdapat gagasan bahwa Tuhan mungkin tidak memahami kebutuhan manusia dengan cara yang kita pikirkan. Itulah sebabnya mengapa manusia merasa perlu berdoa. Namun, Tuhan tidak memerlukan pujian atau bujukan. Tuhan itu bukan manusia. Jika Tuhan ada dan memiliki rencana yang telah ditentukan, maka apakah doa manusia akan mengubah rencana itu? Pertanyaan ini menyentuh inti hubungan antara manusia dan Tuhan dalam perspektif agama. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden ke-4 Indonesia, Gus Dur, "Tuhan tidak perlu dibela." 

Pernyataan ini menggarisbawahi pemahaman bahwa Tuhan, sebagai entitas maha segalanya, tidak memerlukan pembelaan manusia. Jika kita terjebak dalam debat agama, saling hina, saling ejek atau superior agama, yang menganggap sebuah agama lebih tinggi dari agama lainnya. ini, kita mungkin berada di jalur yang mengarah pada pemikiran anti-demokrasi. Hal ini mengingatkan bahwa toleransi yang autentik harus melibatkan toleransi terhadap mereka yang beragama dan mereka yang tidak beragama. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri, asalkan hak orang lain tidak dilanggar. 

Penting untuk disadari bahwa toleransi antar agama bukanlah hal yang mungkin secara langsung, karena agama dan iman adalah sesuatu yang final, akidah tidak dapat dipertukarkan. Dalam keadaan ini, istilah yang lebih tepat adalah toleransi antar umat di mana kita menghormati hak individu atau kelompok untuk menjalani kehidupan sesuai dengan keyakinan mereka, tanpa mencoba mengubah keyakinan tersebut.

Isu terorisme sebenarnya bukanlah fenomena baru. Ia telah ada sejak masa pascakemerdekaan di berbagai negara. Banyak orang beralih ke terorisme karena mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu berperang secara konvensional baik dari segi militer, teknologi, maupun pengetahuan. Terorisme bertujuan untuk menyebarkan rasa takut, dengan kekerasan sebagai alat utama yang digunakan untuk memaksakan tujuan ideologis atau politik.

Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialisme, menegaskan bahwa metode filosofis didalam pendekatan fenomena terorisme harus dimulai dari pengalaman konkret, bukan dari abstraksi. Semua fenomena dan diseminasi pemikiran harus berasal dari realitas nyata, bukan dari konsep-konsep transenden yang tidak terjangkau. Dalam pemikiran Marcel, manusia modern sering kali merasa terasing dari masyarakat, dan solidaritas autentik menjadi hal yang semakin sulit ditemukan. Terorisme, dalam kerangka ini, bisa dilihat sebagai bentuk ekstrem dari keterasingan manusia. Para pelaku teror tidak lagi merasakan solidaritas dengan komunitas mereka, sehingga mereka memilih kekerasan sebagai jalan untuk menanggapi perasaan keterasingan tersebut. Oleh karena itu, pencegahan terorisme tidak hanya harus berfokus pada penanganan teknis, pembinaan, penanggulangan tetapi juga pada upaya untuk membangun kembali ikatan solidaritas yang kuat di masyarakat.

Fanatisme bisa menjadi pintu masuk bagi seseorang menuju terorisme atau ekstremisme. Ketika seseorang mengakar begitu kuat pada keyakinan tertentu tanpa ruang untuk dialog atau kompromi, mereka bisa menjadi intoleran. Klaim kebenaran mutlak sering kali menjadi pendorong utama bagi terorisme. Dalam pandangan filsafat, kebenaran mutlak hanyalah klaim yang bergantung pada asumsi-asumsi yang terbatas.

Presiden Jokowi pernah menegaskan, "Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, dan yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri." Ucapan ini merupakan ajakan kepada seluruh warga negara untuk memoderasi tindakan dan pemikiran mereka. Fanatisme terhadap agama, ideologi, atau nilai-nilai lain, tanpa mempertimbangkan perspektif berbeda, hanya akan membawa kita pada kebencian dan kekerasan.

Generasi muda perlu menumbuhkan pikiran kritis terhadap fenomena sosial. Penerimaan doktrin tanpa pertanyaan dan keengganan untuk menerima perspektif yang berbeda dapat menimbulkan kebencian dan ancaman bagi keragaman.

Terorisme memiliki akar yang kompleks dilihat dari genealoginya, dengan sejarah yang mencakup berbagai motivasi politik, agama, dan etnisitas. Terorisme politik adalah salah satu bentuk paling awal, di mana kekerasan digunakan untuk mencapai tujuan politik seperti menggulingkan rezim atau memaksa perubahan kebijakan. Sebagai contoh, gerakan anarkis pada akhir abad ke-19 sering kali melakukan serangan terhadap pemimpin negara dan pejabat tinggi. Sementara itu, terorisme agama mengalami peningkatan pada akhir abad ke-21 dengan munculnya kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda dan ISIS, yang menggunakan kekerasan untuk menciptakan tatanan ilahi di bumi, sesuai dengan pandangan eskatologis mereka.

Di sisi lain, terorisme berbasis etnis sering kali terkait dengan perjuangan kemerdekaan, seperti yang dilakukan oleh ETA di Spanyol atau Tamil Tigers di Sri Lanka. Terorisme etnis sering kali merupakan bagian dari upaya untuk memisahkan diri dari negara dominan dan mendirikan negara yang terpisah.

Radikalisme, Ekstremisme, dan Fundamentalisme. Ketiga istilah ini sering digunakan secara bergantian, tetapi memiliki perbedaan yang signifikan. Radikalisme merujuk pada keinginan untuk melakukan perubahan mendasar dalam sistem sosial, politik, atau agama. Ekstremisme, di sisi lain, merujuk pada tindakan atau keyakinan yang berada di luar batas moderasi dan cenderung menggunakan cara-cara berlebihan. Sementara fundamentalisme lebih terkait dengan sikap yang kaku dalam mempertahankan ajaran dasar agama atau ideologi, menolak interpretasi yang lebih modern atau liberal.

Tidak semua gerakan yang dianggap radikal atau ekstrem bersifat negatif. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, misalnya, pernah dianggap radikal karena menuntut perubahan besar dalam struktur sosial. Namun, karena perjuangannya dilakukan secara damai dan menghormati hak asasi manusia, ia sekarang dianggap sebagai gerakan yang positif.

Dalam beberapa dekade terakhir, muncul bentuk terorisme baru yang disebut eco-terorisme, di mana individu atau kelompok menggunakan kekerasan atau perusakan properti untuk melindungi lingkungan alam. Eco-terorisme sering kali dipicu oleh keyakinan bahwa tindakan radikal diperlukan untuk menghentikan eksploitasi lingkungan oleh perusahaan, pemerintah, atau individu.

Eco-terorisme ini, yang sering kali terinspirasi oleh pemikiran "deep ecology," menekankan bahwa perubahan mendasar dalam hubungan antara manusia dan alam diperlukan untuk mencapai keseimbangan ekologis sejati. Hal ini mencakup penghentian kegiatan manusia yang dianggap eksploitatif, bahkan jika harus menggunakan cara-cara kekerasan.

Sejarawan Yuval Noah Harari memberikan pendekatan menarik untuk menghadapi terorisme. Harari menekankan bahwa salah satu langkah pertama adalah jangan panik. Terorisme hanya berhasil ketika publik menjadi panik dan media memberikan sorotan berlebihan terhadap aksi kekerasan. Harari juga mengingatkan bahwa langkah paling efektif untuk melawan terorisme adalah dengan mengambil tindakan secara diam-diam dan menghindari pemberitaan yang histeris.

Jika kita memahami ini dalam konteks Indonesia, tantangan utamanya adalah bagaimana media dapat menghindari pemberitaan yang memicu kepanikan tanpa kehilangan fungsi kontrolnya terhadap pemerintah. Tindakan pemerintah dalam meredam terorisme tidak bisa terlepas dari keterlibatan media, tetapi harus ada keseimbangan dalam peliputannya agar tidak menambah ketakutan publik.

Daftar Pustaka

Beck, Ulrich. (2006). The Cosmopolitan Vision. Polity Press.

Cneyt Kl, Semanur Soyyiit, Yilmaz Bayar, & Festus Victor Bekun. (2024). Exploration on terrorism, ecological footprint and environmental sustainability in countries with the most terrorism antecedent: Accessing evidence from panel fourier analysis. Heliyon, 10(1), e22849--e22849. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e22849

Giddens, Anthony. (1991). Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Polity Press.

Gus Dur (Abdurrahman Wahid). (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Kompas.

Harari, Yuval Noah. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Penguin Random House.

Historicising "terrorism": how, and why?. (2021). Critical Studies on Terrorism. https://doi.org/10.1080//17539153.2021.1982467

Hoffman, Bruce. (2006). Inside Terrorism. Columbia University Press.

Huntington, Samuel P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Simon & Schuster.

Juergensmeyer, Mark. (2000). Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence. University of California Press.

Jurnal Prisma. (2021). Jurnal Prisma. https://www.prismajurnal.com/post/radikalisme-ekstremisme-dan-terorisme/

Kant, I. (2022). Kritik Atas Akal Budi Murni. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi.

Kepel, Gilles. (2004). The War for Muslim Minds: Islam and the West. Harvard University Press.

Laqueur, Walter. (2001). The New Terrorism: Fanaticism and the Arms of Mass Destruction. Oxford University Press.

Marcel, Gabriel. (1965). Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope. Harper & Row.

Preventing Violent Extremism -- What Has Gender Got to Do With It?: Gendered Perceptions and Roles in Indonesia: European Psychologist: Vol 26, No 1. (2021). European Psychologist. https://econtent.hogrefe.com/doi/abs/10.1027/1016-9040/a000434?journalCode=epp

Reno Wikandaru. (2014). Ontologi Terorisme Dalam Perspektif Filsafat Eksistensialisme Gabriel H. Marcel. Jurnal Filsafat, 24(1), 79--93. https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/34760/20738

Sukabdi, Z. A. (2021). Bridging the gap: Contributions of academics and national security practitioners to counterterrorism in Indonesia. International Journal of Law, Crime and Justice, 65, 100467--100467. https://doi.org/10.1016/j.ijlcj.2021.100467

Three waves of critical terrorism studies: agenda-setting, elaboration, problematisation. (2024). Critical Studies on Terrorism. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17539153.2024.2356918?src=recsys#abstract

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun