Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

212 The Movie: Memori yang Penuh Cinta

13 Mei 2018   20:22 Diperbarui: 13 Mei 2018   22:34 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rahmat dan Yasna, sahabat kecil yang baru bertemu kembali. (instagram.com/212movie))

Adegan peserta long march CIamis--Jakarta untuk mengikuti Aksi 212. (instagram.com/212movie)
Adegan peserta long march CIamis--Jakarta untuk mengikuti Aksi 212. (instagram.com/212movie)
Bahkan, bisa jadi pergulatan emosi itu sudah ada dan beresonansi sepanjang perjalanan menuju Monas pada 2 Desember 2016. Apalagi bila perjalanan itu sejauh 300 kilometer lebih dari Ciamis ke Jakarta. Bukan hanya waktu yang terlewat, sepanjang perjalanan itu ada pula interaksi anak-ayah yang menguat. Luluhnya egoisme diri oleh uluran tangan orang-orang yang menawarkan bantuan, makanan, dan penginapan di sepanjang perjalanan.

Memang benar bila waktu akan menghapus pilu. Mengembalikan hubungan yang dingin tanpa tegur sapa menjadi tertawa bersama. Dan itu semua terjadi hanya jika semua pihak saling terbuka dan ikhlas menerima.

Perjuangan Rahmat sesungguhnya sudah dimulai semenjak ia memutuskan untuk berjalan bersama ayahnya. Dan di Monas, puncak dialog dan interaksi itu benar-benar meruntuhkan tembok imajiner tinggi yang dibangun Rahmat untuk menutupi kekosongan diri. Di lautan manusia Aksi 212, Rahmat akhirnya kembali menjadi anak, menjadi hamba sang pencipta, dan menjadi seorang idealis yang bukan liberalis.

Adin yang sedari awal menemani perjalanan Rahmat pun memainkan peran sebagai sahabat yang selalu membersamai. Mengisi jeda dialog--yang banyak berisi kekakuan Rahmat--dengan adegan jenaka. Malah tak terbayang sebelumnya bila Adhin Abdul Hakim yang berpenampilan sangar justru mengambil peran sebagai protagonis.

Sebagai film yang mecoba untuk mennyimpan memori Aksi 212, tentu banyak cerita fakta yang termuat di dalamnya. Long march para santri Ciamis, kisah pengantin Nasrani yang menikah di Katedral Jakarta, dan pembagian makanan dengan kesukarelaan tanpa kekisruhan adalah sebagian kisah faktual yang diangkat.

Kumpulan massa pada Aksi 212. (Republika)
Kumpulan massa pada Aksi 212. (Republika)
Frame kumpulan massa di Monas pun tidak lupa dihadirkan. Mengingatkan kita semua betapa dahsyatnya momen saat itu. Untunglah awak film 212: The Power of Love berhasil merajut dengan baik adegan kolosal masa-masa aksi berlangsung meskipun film ini sesungguhnya tidak diisi orang sebanyak massa aksi.

Teknik pengambilan gambar dengan angle yang tepat bisa mengatasi masalah jumlah orang yang mengisi film ini, selain penggunaan dokumentasi-aksi yang asli. Rekaman asli aksi itu dimunculkan bergantian dengan adegan-adegan yang diambil oleh sutradara. Ditampilkan dalam proporsi waktu yang pas sehingga penonton tetap nyaman menikmati keseluruhan tontonan.

212 The Movie. (Bayu M. WIcaksono)
212 The Movie. (Bayu M. WIcaksono)
Dengan film ini, kita dapat menyaksikan (kembali) cinta, keyakinan, dan kedamaian yang sama seperti pada Aksi 212. Film ini telah berhasil menghadirkan kembali momen-momen 2 tahun lalu. Dan di tengah duka pengeboman gereja di Surabaya, kita masih bisa merasakan izzah seorang muslim pasca-berhasil mewujudkan kedamaian saat aksi dengan jutaan massa.

Film ini adalah kontra-narasi dari perilaku beringas menghancurkan ini dan itu, apalagi sampai rumah ibadah agama lain. Sungguh bertolak belakang dengan fakta bahwa kerumunan jutaan umat Islam tidak merusak rumput Monas sama sekali. Umat agama lain pun jelas dihormati dan diperlakukan dengan baik walaupun berada di antara lautan massa muslim.

Akhirnya, kita bisa menarik batas yang jelas bahwa pengebom 13 Mei 2018 bukanlah seorang muslim yang lurus. Seorang muslim haruslah penuh cinta, iman, dan kedamaian meskipun memperjuangkan tuntutan saat agama dinistakan. Muslim tidak menebarkan ancaman apalagi melakukan penyerangan sampai pembunuhan karena dalih-dalih keagamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun