Aksi Bela Islam III atau yang lebih sering kita sebut dengan Aksi 212 adalah peristiwa yang monumental. Sejak saat itu tercipta sebuah metode aksi baru yang sungguh berbeda. Bisa dibilang nyeleneh mungkin di jagat perdemontrasian. Massa aksi yang jumlahnya seperti demo reformasi, inisiatif personal yang kuat untuk tetap tertib, dan tanpa huru-hara adalah catatan penting yang tidak bisa ditolak.
Massa tidak meminta perwakilannya diajak masuk oleh penguasa. Tidak pula merongrong dengan orasi-orasi kalap yang isinya menghujat. Peserta Aksi 212 justru mengirimkan permintaan langsung kepada Sang Pencipta, menuntut keadilan saat agama-Nya dinista. Ucapan yang keluar pun adalah doa dan nasihat untuk bersama-sama dalam kebenaran dan kesabaran.
Dari jutaan orang yang hadir, tentulah setiap orangnya punya memori masing-masing. Dalam sebuah kumpulan massa, memori 212 adalah memori cinta dan persatuan sesama saudara se-Islam dan sesama manusia. Sayang bila peristiwa sehebat itu tidaklah meninggalkan jejak dalam perjalanan bangsa kita.
Untunglah ada orang-orang yang berjuang supaya narasi 212 (kalau tidak bisa disebut sebagai sejarah) tidak hilang seiring dengan pudarnya ingatan para pesertanya. Sekarang memori itu sudah dihadirkan dan terdokumentasi dalam film 212: The Power of Love. Pastilah sulit untuk menangkap memori tiap individu terkait aksi itu, tetapi film ini jelas bisa menghadirkan memori kolektif dan pesan berharga yang semestinya terus terpelihara.
Maka, Jastis Arimba selaku sutradara sudah tepat bila mengambil tokoh fiktif dalam filmnya. Dengan penokohan fiktif itu, tidak ada yang merasa film ini hanya untuk mengukuhkan peran dirinya dan tidak ada pula yang merasa terabaikan partisipasinya.
Rahmat, sang tokoh sentral dalam film 212: The Power of Love meskipun tidak ada wujud nyatanya di luar film, patutlah diduga ada yang menyerupai kisahnya. Ia seorang yang hatinya luluh dan bisa mencintai saudara dan agama karena sentuhan Aksi 212.
Lulusan terbaik Harvard University, jurnalis terbaik negeri, dan kukuh dalam pendirian adalah persona yang dimainkan Fauzi Baadilla sebagai Rahmat. Sayangnya, tulisannya keras dan tidak memihak kepada perjuangan umat Islam dalam Aksi 411. Mitranya sesama jurnalis, Adin (Adhin Abdul Hakim) yang sudah mengingatkan pun tak digubris. Di tengah perdebatan terkait tulisannya itu, ada kabar yang membuat Rahmat dan Adin pergi ke rumah keluarga Rahmat di Ciamis.
Rupanya Kyai Zaenal (Humaidi Abas), ayah Rahmat yang merupakan pemimpin pondok pesantren di sana sudah berniat untuk mengikuti Aksi 212 di Jakarta. Jelas mereka berada di jalan berbeda secara idealisme.
Dalam suasana masih campur aduk, Rahmat memutuskan untuk menemani Kyai Zaenal dan santri-santrinya melakukan long march Ciamis--Jakarta. Bukan karena kesadaran untuk berjuang dalam satu barisan. Rahmat hadir untuk membuktikan bahwa niat Kyai Zaenal adalah hal yang konyol, sia-sia, dan bisa jadi berbuah petaka.
Salah satu hal yang membuat Aksi 212 menjadi bermakna adalah adanya kesan dan kenangan berbeda yang ekslusif pada setiap peserta. Ada yang begitu terpukau dengan keteraturannya. Ada pula yang terkesan dengan kebersihannya. Dan ada yang memiliki kesan yang begitu dalam karena Aksi 212 adalah adukan segala emosi, kemarahan, dan perjuangan mempertahankan keinginan pribadi yang akhirnya runtuh tersapu zikir yang terlantun dari gelombang manusia di Monumen Nasional (Monas).
Memang benar bila waktu akan menghapus pilu. Mengembalikan hubungan yang dingin tanpa tegur sapa menjadi tertawa bersama. Dan itu semua terjadi hanya jika semua pihak saling terbuka dan ikhlas menerima.
Perjuangan Rahmat sesungguhnya sudah dimulai semenjak ia memutuskan untuk berjalan bersama ayahnya. Dan di Monas, puncak dialog dan interaksi itu benar-benar meruntuhkan tembok imajiner tinggi yang dibangun Rahmat untuk menutupi kekosongan diri. Di lautan manusia Aksi 212, Rahmat akhirnya kembali menjadi anak, menjadi hamba sang pencipta, dan menjadi seorang idealis yang bukan liberalis.
Adin yang sedari awal menemani perjalanan Rahmat pun memainkan peran sebagai sahabat yang selalu membersamai. Mengisi jeda dialog--yang banyak berisi kekakuan Rahmat--dengan adegan jenaka. Malah tak terbayang sebelumnya bila Adhin Abdul Hakim yang berpenampilan sangar justru mengambil peran sebagai protagonis.
Sebagai film yang mecoba untuk mennyimpan memori Aksi 212, tentu banyak cerita fakta yang termuat di dalamnya. Long march para santri Ciamis, kisah pengantin Nasrani yang menikah di Katedral Jakarta, dan pembagian makanan dengan kesukarelaan tanpa kekisruhan adalah sebagian kisah faktual yang diangkat.
Teknik pengambilan gambar dengan angle yang tepat bisa mengatasi masalah jumlah orang yang mengisi film ini, selain penggunaan dokumentasi-aksi yang asli. Rekaman asli aksi itu dimunculkan bergantian dengan adegan-adegan yang diambil oleh sutradara. Ditampilkan dalam proporsi waktu yang pas sehingga penonton tetap nyaman menikmati keseluruhan tontonan.
Film ini adalah kontra-narasi dari perilaku beringas menghancurkan ini dan itu, apalagi sampai rumah ibadah agama lain. Sungguh bertolak belakang dengan fakta bahwa kerumunan jutaan umat Islam tidak merusak rumput Monas sama sekali. Umat agama lain pun jelas dihormati dan diperlakukan dengan baik walaupun berada di antara lautan massa muslim.
Akhirnya, kita bisa menarik batas yang jelas bahwa pengebom 13 Mei 2018 bukanlah seorang muslim yang lurus. Seorang muslim haruslah penuh cinta, iman, dan kedamaian meskipun memperjuangkan tuntutan saat agama dinistakan. Muslim tidak menebarkan ancaman apalagi melakukan penyerangan sampai pembunuhan karena dalih-dalih keagamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H