Hampir satu bulan penuh kita telah memasuki tahun 2018. Hal ini sekaligus menjadi reminderbahwa tahun demokrasi telah semakin dekat. Perlu kita pahami bahwa pada tahun 2019 pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden (pilpres) akan digelar secara serentak.Â
Yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah sejauh mana pengetahuan publik tentang pemilu 2019? Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Political Marketing Consulting yang juga dijadikan acuan oleh KPU menyebutkan bahwa pengetahuan publik tentang pemilu 2019 masih di bawah 50 persen atau tepatnya 40 persen.
Rendahnya pengetahuan publik ini sedikit banyak terpengaruh oleh lambatnya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diteken oleh pemerintah dan dilegalkan oleh DPR sehingga proses sosialisasinya pun menjadi terhambat.Â
Apalagi menurut UU yang baru ini, masa persiapan pemilu berkurang menjadi 20 bulan saja, berbeda dengan dengan Pemilu 2014 yang memiliki masa persiapan 22 bulan. Minimnya sosialisasi dan pengetahuan publik ini tentu berdampak pada meningkatnya potensi apatisme masyarakat dan tidak kondusifnya pemilu 2019.
Sebagai refleksi, harus diakui bahwa tahun 2017 adalah tahun yang cukup gaduh dengan isu-isu politik, terlebih jika isu tersebut berkelindan dengan isu agama dan rasial maka akan semakin sensitif.Â
Hal ini sebenarnya adalah masalah klasik sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ibnu Rusyd atau Averroes bahwa jika ingin mengerahkan massa dalam jumlah besar dan waktu yang cepat maka bungkuslah dengan isu agama.Â
Kasus terbongkarnya sindikat Saracen juga semakin mempertegas bahwa ujaran kebencian berbau agama dan rasial sangat berpotensi untuk mempengaruhi dan meracuni hasil kontestasi politik dalam demokrasi elektoral.
Kita boleh saja selalu mengumandangkan konsep politik santun ataupun politik bermartabat. Akan tetapi hal tersebut tidaklah cukup karena faktanya sampai saat ini praktik black campaign dan money politics masih terus terjadi di berbagai penjuru negeri ini. Melihat situasi yang demikian, penting kiranya kita menggalakkan literasi politik.Â
Literasi politik bagi masyarakat, menjadi begitu strategis mengingat saat ini perbedaan atau gap akses informasi antara masyarakat perkotaan maupun pedesaan telah demikian menipis.
Di zaman yang serba digital ini, dengan sedikit memainkan jemari saja berbagai pemberitaan terkait isu politik menjadi begitu mudah didapatkan oleh siapapun. Apalagi kekuatan viral melalui media sosial dan aplikasi chating semakin mempercepat arus penetrasi informasi.Â
Oleh karena itu nilai strategis dunia maya harus dimanfaatkan sebagai salah satu alat untuk melakukan literasi politik yang efisien. Hal ini juga untuk merubah pola pikir masyarakat yang relatif banyak terpengaruh oleh informasi politik dari dunia maya yang menyesatkan dan mendistorsi kondisi riil karena adanya kepentingan kelompok tertentu.