Salah satu instrumen dalam perjanjian yang harus dipenuhi oleh pemerintah adalah menghentikan bantuan dana kepada IPTN. Ishak (2008) menjelaskan bahwa Pemerintah dipaksa memutus dukungan dana bagi Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) yang notabene adalah milik negara dan telah dikembangkan sejak 1976. Ishak (2008) menjelaskan bahwa Lembaga rente dunia itu menilai megaproyek industri pesawat terbang tersebut sebagai proyek mercusuar yang cuma menghambur- hamburkan uang. Ia menerangkan lebih lanjut bahwa bila ingin recovery ekonomi berjalan cepat, menurut IMF, proyek-proyek semacam itu harus segera dihentikan. Padahal IPTN juga mengalami keadaan serupa dengan perusahaan-perusahaan negara lain yang terkena dampak krisis. Ia membutuhkan dukungan dana untuk merestrukturisasi utangnya. Ishak menceritakan hutang IPTN yang tercatat oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya 900 Miliar yang akibat krisis melonjak menjadi 1,8 Triliun.
Habibie (2006; 273) sebagai perintis IPTN tidak dapat mengerti, karena sama sekali tidak beralasan rasional, mengapa IMF pada akhir tahun 1997 menuntut agar pemerintah tidak segera membantu IPTN untuk penyelesaian pesawat turboprop N250 yang canggih dan terbang perdananya pada tanggal 10 Agustus 1995 berhasil. LoI tersebut meminta pemerintah untuk tidak memberikan bantuan kepada IPTN. IMF menyarankan untuk menyelamatkan bank-bank swasta terancam kolaps. Sayangnya menurut, Yustika (2011; 294) jumlah yang dapat ditarik kembali oleh pemerintah dari para bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya sekitar 25,4% dari total dana yang digelontorkan pemerintah sekitar Rp. 600 triliun. Tidak tuntasnya pengembalian dana pinjaman para penerima BLBI telah menjadi kasus yang hingga kini tidak tuntas .
Tidak ada data yang diraih untuk mengungkap latar belakang IMF untuk memasukan penghentian bantuan kepada IPTN sebagai klausal yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan pinjaman tersebut. Besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk merestrukturisasi proyek mercusuar Orde Baru ini menjadi argumen yang dikemukakan. Padahal jumlah tersebut jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian BLBI. Indikasi keterlibatan perusahaan-perusahan mutinasional baru tampak setelah surutnya kemampuan IPTN untuk memproduksi pesawat terbang. Ceruk pasar pesawat terbang dalam negeri kini direbut oleh para produsen pesawat luar negeri. Bahkan maskapai penerbangan pemerintah lebih memilih untuk membeli pesawat buatan luar negeri, dibandingkan produk IPTN. Sesuatu yang sebenarnya dapat dipenuhi bila industri pesawat terbang nasional ini tidak dibiarkan kandas .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H