Mohon tunggu...
Bayu Indra Pratama
Bayu Indra Pratama Mohon Tunggu... -

Bayu Indra Pratama

Selanjutnya

Tutup

Money

Refleksi Kemandirian Teknologi di Bawah Bendera Asing

18 Maret 2013   04:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:35 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intervensi asing terhadap perkembangan kebijakan teknologi di Indonesia bukan sesuatu yang baru. Kemandirian teknologi Indonesia merupakan sebuah ancaman bagi negara-negara asing. Paling tidak ada dua faktor utama yang menyebabkan intervensi tersebut terus terjadi. Pertama, kemandirian teknologi Indonesia dapat mengurangi bahwa menghilangkan pangsa pasar teknologi mereka. Seperti diketahui bahwa hampir 90% teknologi yang ada di Indonesia merupakan produk-produk impor dari luar negeri . Pilihan untuk mengembangkan teknologi merupakan upaya mengurangi ketergantungan tersebut. Upaya itu sekaligus memberikan harapan untuk meningkatkan pendapatan dari sektor teknologi dan mengurangi pengeluaran devisa negara. Kedua, usaha memajukan teknologi di Indonesia dapat mengurangi kesempatan asing untuk memperoleh sumber daya dari Indonesia. Negara ini memiliki seluruh jenis sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Jika Indonesia berusaha mengembangkan teknologi, tentunya arah pemanfaatan teknologi akan diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri. Hal tersebut berbalik dengan keadaan saat ini, dimana seluruh barang tambang diekspor ke luar negeri .

Intervensi asing terlihat pada usaha Indonesia mengembangkan industri strategisnya. Hal tersebut dapat menjadi tolok ukur karena hanya ada tiga negara di dunia yang menghentikan program industri strategisnya yakni, Indonesia , China, dan Rusia. Kasus “Timor” Mobil Nasional dan Industri Pesawat Terbang Nusantara merupakan dua cerita tekanan asing terhadap pengembangan teknologi Indonesia. Keduanya menunjukan usaha asing untuk menjaga dominasinya dan melemahkankan kemampuan Indonesia mengembangkan teknologi. Pihak asing menggunakan instrumen lembaga-lembaga dan hukum internasional untuk menghentikan pengembangan teknologi ini.

1. Mobil Nasional Timor: Antara Kepentingan Asing, Nasionalisme dan Koncoisme

Semua negara tentunya ingin memiliki mobil dengan merk dalam negerinya . Ia bukan hanya menunjukan sebuah identitas melainkan juga lambang kemajuan teknologi sebuah negara. Kebanggaan merupakan sebuah nilai lebih yang dimiliki sebuah bangsa jika mampu mengembangkan teknologi karena mampu mengurangi ketergantungannya dari pihak asing. Keuntungan ekonomis juga merupakan nilai tambah yang tidak dapat dipungkiri karena lahirnya industri mobil nasional dapat membuka lapangan kerja dan profit dari nilai jual produk tersebut.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa mobil-mobil yang beredar di Indonesia merupakan merk-merk luar negeri. Sejak pertama kali kedatangan mobil pertama kali ke Indonesia hingga medio tahun 90-an, Indonesia tidak memiliki merek mobil Indonesia . Kebutuhan otomotif terutama mobil dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan asing. Memang pada akhir Abad 21 tersebut kebutuhan mobil telah ditopang oleh industri dalam negeri, namun semua dipenuhi oleh merek-merek Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat Negara ini tidak memiliki sebuah brand mobil menjadi bukti ketertinggalan teknologi Indonesia.

Timor, merupakan salah cerita menarik usaha pengembangan industri mobil nasional. Ia memang bukan merupakan mobil pertama yang digadang-gadang sebagai mobil nasional , tetapi besarnya dukungan pemerintah dan tentangan dari produsen mobil luar negeri menjadikannya sebuah kasus yang menarik. Kasus ini juga yang kemudian mempopulerkan WTO di Indonesia. Sebelumya lembaga ini tidak terlalu mendapat sorotan dari masyarakat Indonesia.

Pada dasarnya program mobil nasional diarahkan untuk menstimulir dan mendorong gerak pertumbuhan ekonomi nasional. Misinya untuk memantapkan landasan mass manufacturing di Indonesia dan dapat bersaing dalam pasar global. Sedangkan tujuan memproduksi mobil buatan Indonesia melalui proses maksimalisasi komponen lokal dengan standar produksi internsional, melalui inpres No. 2/1999 dan Keppres No. 42/1996, program mobil nasional disosialisasikan secara sistematis lewat penunjukan PT Timor Putera Nasional (TPN) sebagai pionir yang memperoleh fasilitas istimewa dari pemerintah. Jalinan kerjasama antara TPN dan KIA Motor Coorporation menghasilkan mobil nasional “Timor” diproduksi secara instan dengan mekanisme Complete Built-UP (CBU) yang diimpor dari Korea Selatan ((Tahmidy, 1999; xiv).
Kedua peraturan tersebut memberikan kemudahan bagi TPN untuk mendapat pembebasan pajak komponen impor dan pajak pertambahan barang mewah. Kemudahan tersebut diberikan dengan alasan mempercepat proses alih dan pengembangan teknologi di dalam negeri. Sayangnya, hal ini berbeda dengan kenyataan yang ada. Mobil tersebut bukan merupakan produksi dalam negeri karena dirakit di Korea Selatan dan diimpor secara utuh ke Indonesia. Pemerintah menglaim bahwa mobil tersebut merupakan produk nasional dengan alasan dikerjakan oleh orang-orang Indonesia. Hal tersebut tentu menyeleweng dengan tujuan awal yang ingin mengembangkan teknologi, justru menjadi pedagang produk negara lain.

Hubungan negara dan modal secara eksplisit mengonstruksikan bentuk ersatz capilasm, sebagai akibat langsung praktik crony capitalsm yang berlangsung secara sistematis dan terorganisir melalui metode korupsi, kolusi, dan nepotisme. Program Mobil Nasional telah mereflesksikan kepentingan kelompok yang bermain di atas kepentingan nasional, dan menjadikannnya sebagai saran reproduksi keuntungan finasial melalui kamuflase proses industrialisasi otomotif. Pemberian lisensi kepada Timor Perdana Nasional telah merusak sistem ekonomi nasional dan merusak citra perdagangan indonesia di dunia internasional. Hubungan negara dan modal secara eksplisit dikonstruksi dalaKebijakan mobil nasional pada kenyataannkan, tetapi merupakan abuse of power (penyimpangan kekuasaan) yang secara sistematis dipolakan dalam bentuk legalitas formal (inpres dan keppres) (Tahmidy, 1999; 150-151).

Kebijakan ini membuat banyak kalangan merasa dirugikan. Pertama, impor mobil Timor jelas mengurangi pendapatan pajak negara. Kedua, perusahaan otomotif dalam negeri yang lain merasa didiskriminasikan, padahal mungkin komponen lokal yang mereka gunakan lebih besar dari Timor. Ketiga, kebijaaan itu adalah tindakan kolusi dan nepotisme yang marak pada saat itu. Keempat peusaahaan otomotif Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat mengatakan bahwa tersebut merupakan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan kemudian mengajukan gugatan ke WTO. (Jhamtani, 2005; 134)

Kasus ini membuat WTO menjadi populer di Indonesia. Keterikatan Indonesia dengan WTO mendorong negara untuk menyesuaikan peraturan dengan keputusan lembaga perdagangan internasional ini. WTO menganulir kebijakan Indonesia dan meminta pemerintah mengubah kebijakannya dalam komponen industri otomotif. Jhamtani (2005; 135) memberikan contoh presiden harus mengeluarkan KEPPRES No. 20/1998 untuk mencabut KEPPRES 42/1996. Kebijakan lain yang harus dicabut adalah Surat Keputusan Menteri Penindustrian dan Perdagangan No. 114/M/SK/6/1993 mengenai Penetuan Tingkat Muatan Lokal dari Kendaraan Bermotor yang di buat dalam negeri. Jhamtani menceritakan bahwa ini merupakan kebijakan diluar kebijakan mobil nasional karena hanya menyangkut pajak kendaraan bermotor. Selain itu, ia menjelaskan seluruh kebijakan otomotif yang tadinya memang diberlakukan untuk mendorong kapasistas dalam negeri digugat dan harus diubah, hanya karena satu langkah kebijakan yang salah.

Ketergantungan struktur produksi pada industri otomotif terhadap transnasional coorporation, menyebabkan tinggintya tingkat konsentrasi kegiatan produksi dan integrasi vertikal berskala dunia. Keberhasilan program-program pengembangan industri otomotif menjadi bertumpu kepada integrasi ke dalam jaringan produksi global perusahaan-perusahaan otomotif transnasional. Ekspansi industri kapilasime internasional telah memaksa industri nasional masuk dalam jaringan kerja internasional produksi otomotif, hal ini tidak hanya menyiratkan ekspansi pasar dalam perdagangan otomotif dan investasi asing secara signifikan, tetapi lebih dari itu proses internasionalisasi produksi telah membubarkan industri-industri nasional secara berkepanjangan serta menggantinya dengan industri global yang bercirikan interpenetrasi pasar, persaingan antara perusahaan-perusahaan berskala dunia (Tahmidy, 1999; 151-152).
Cerita ini mungkin menunjukan peran WTO sebagai lembaga penyelesaian persaingan dan sengketa perdagangan internasional. Hal itu tampak dari keputusan yang diberikan kepada Indonesia. Padahal kenyataannya, lembaga internasional ini hanya menjadi alat kepentingan perusahaan-perusahaan otomotif multinasional. Mereka mendorong negara-negara asalnya untuk mengajukan tuntutan kepada WTO atas kebijakan mobil nasional Indonesia. Ia terlihat memberikan keadilan kepada padahal hal tersebut merugikan Indonesia yang harus mengugurkan seluruh kebijakan yang melindungi industri otomotif nasional. Selayaknya hal ini menjadi refleksi bahwa kebijakan mobil nasional tidak hanya berdasarkan semangat nasionalisme. Perumusan kebijakan juga semestinya merupakan hasil kajian yang mendalam bukan hasil koncoisme ala ORBA.

2. Tinggal Kandas Industri Pesawat Terbang Nusantara

Ketika Indonesia diterjang gelombang krisis ekonomi Asia tahun 1997-1988, negara menjalin kerjasama dengan International Moneter Fund (IMF). Pemerintah Indonesia mengharapkan pinjaman dana dari IMF untuk menanggulangi dampak krisis yang terjadi. IMF mengajukan beberapa klausal persyaratan yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk dapat memperoleh pinjaman dana. Hal tersebut mendorong negara menandatangani Letter of Intents dengan IMF.
IMF tidak semata-mata bermaksud mulia menyelematkan ekonomi Indonesia, tetapi membawa muatan ekonomi dan politik atas Indonesia. Buktinya resep yang ditawarkan oleh IMF lebih berdasar desain dan formula yang sepenuhnya ditentukan IMF daripada oleh pemerintah Indonesia sendiri, yang mengabaikan kondisi objektif Indonesia sendiri. Akibatnya, resep tersebut bukan hanya tidak mujarab, tetapi justru semakin memperparah keadaan. Inilah yang terlihat ketika IMF serta-merta mengusulkan melikuidasi 16 bank nasional pada 1 November 1997 dan memangkas berbagai subsidi yang selama ini dinikmati oleh rakyat kecil. Resep solusi semacam ini menimbulkan keresahan sosial dan beban ekonomi yang semakin berat. Selain itu, Direktur IMF, Michael Camdesus di Harian New York Times 10 April 1998 juga menghendaki Soeharto mengundurkan diri. (Manan, 2005; 236)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun