Mohon tunggu...
Bayu Fitri
Bayu Fitri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Seorang pengamat hiruk pikuk media sosial dalam hal gaya hidup, finance, traveling, kuliner dan fashion. Tulisan saya bisa dibaca di blog https://bayufitri.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Patriarki, Figur Ayah, dan Fenomena Papa Dali

24 Juli 2024   21:26 Diperbarui: 30 Juli 2024   22:17 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok ayah dalam pertumbuhan anak, sumber : freepik.com

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial.

Kedudukan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.

Hal ini menyebabkan laki-laki jika sudah berkeluarga  mempunyai otoritas terhadap pasangan atau istri dan anak-anak.

Pengaruh otoritas laki-laki diperkuat lagi dalam tafsira kajian agama yang menyebutkan laki-laki adalah pemimpin dan kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga. Segala titah laki-laki wajib hukumnya dituruti oleh anggota keluarga.

Budaya Patriarki

Kiprah laki-laki sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan dengan segala keunggulan dan otoritasnya membuat laki-laki menjadi tidak fleksibel ketika sudah memasuki fase menjadi kepala keluarga dalam sebuah ikatan pernikahan.

Hal ini dipengaruhi budaya patriarki yang menempatkan laki - laki ada pada posisi tertinggi dengan tugas sebagai pencari nafkah dan mempunyai tanggung jawab menghidupi keluarganya.

Oleh karena itu didikan keluarga yang menganut budaya patriarki "mengharamkan" laki-laki untuk terampil mengerjakan pekerjaan internal rumah tangga terutama yang dikerjakan perempuan.

Secara umum, budaya patriarki memberikan stigma  bahwa peran ayah sebatas pada aspek finansial. Dengan alasan sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan finansial keluarga, terkadang kiprah ayah kurang mempunyai peran dalam pengasuhan anak. 

Secara umum anak-anak yang mempunyai ayah dan menganut budaya patriarki lebih banyak diasuh dalam pengawasan ibu.

Konsekuensi Patriarki

Hilangnya peran ayah dalam pengasuhan anak melahirkan istilah "fatherless society". Akibatnya banyak anak-anak yang tumbuh besar namun kehilangan figur ayah. Hal ini berakibat pada proses pertumubuhan psikis anak yang banyak masalah.

Berdasarkan data sebagian besar anak usia dini di Indonesia hanya diasuh langsung penuh oleh ibu, tanpa keterlibatan figur ayah.

Bahkan Indonesia  termasuk dalam kategori fatherless country atau “negara kekurangan ayah”. Fatherless country merupakan sebuah negera yang ditandai keadaan atau gejala dari masyarakatnya berupa kecenderungan tidak adanya peran, dan keterlibatan figur ayah secara signifikan

Beberapa masalah yang bisa terjadi pada anak yang kehilangan sosok ayah seperti anak-anak akan rentan mengalami depresi, kecemasan, dan harga diri rendah.

Anak-anak yang durasi berinteraksi dengan ayahnya kurang bisa menghambat kemampuan dalam membangun hubungan dan menyelesaikan konflik.

Anak-anak yang tumbuh besar tanpa figur ayah umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan.

Pada anak laki-laki yang tumbuh tanpa figur ayah lebih rentan terlibat dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, dan hubungan seksual dini.

Fenomena Papa Dali

Berita selebriti tentang meninggalnya pasangan atau suami dari selebriti pemeran seni Jennifer Rochelle Coppen yaitu Yitta Dali Wassink akibat kecelakaan atau tenar dengan nama panggilan "Papa Dali" sangat menarik perhatian masyarakat.

Pria yang baru dikaruniai seorang anak batita perempuan ini menjadi seorang ayah pada usia muda yaitu 22 tahun.

Yang menarik perhatian masyarakat lewat unggahan pribadi media sosialnya sebelum meninggal dunia, Papa Dali selalu membagikan kesehariannya yang sangat dekat dengan putri semata wayangnya. 

Bahkan tanpa sungkan melalui unggahan di media sosialnya Papa Dali terlibat penuh dalam pengasuhan putri semata wayangnya.

Mulai dari memandikan, mengganti popok, menggendong, mengasuh, menidurkan sampai membuat MPASI dan menyuapi bayi perempuan sampai menidurkan dilakukan dengan suka cita.

Perilaku Papa Dali yang di luar pakem bagi masyarakat Indonesia menjadi terlihat tidak biasa. Hal ini karena jarang terjadi seorang ayah dengan kesadaran sendiri mau dan telaten mengurus bayinya secara mandiri.

Bagi kaum perempuan Indonesia khususnya yang sudah mempunyai anak atau yang baru merencanakan punya anak , fenomena Papa Dali membuka mata mereka jika ada lho laki-laki yang mau terlibat penuh dalam pengasuhan anak. 

Tugas perempuan sesuai kodratnya yaitu melahirkan dan menyususi pastinya akan sangat terbantu jika pasangan atau suaminya juga mempunyai kepedulian mau terlibat dalam pengasuhan anak bersama. 

Jadi gak ada lagi cerita perempuan depresi karena repot mengurus anak sekaligus melayani suami dan membereskan rumah seorang diri.

Jika perempuan berkontribusi menghasilkan pendapatan maka suami bisa bergantian mengasuh dan menjaga anak. Pengasuhan anak tetap pada pengawasan orang tua tanpa dilepas begitu saja pada pengasuh anak atau orang lain di luar kedua orang tuanya. 

Pada akhirnya ikatan antara orang tua dan anak tidak akan terputus selama masa golden age anak belum terlewati.

Pentingnya Keterlibatan Ayah

Peran ayah dalam pengasuhan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Keterlibatan aktif ayah dalam pengasuhan anak tidak hanya bermanfaat bagi anak, tetapi juga bagi ayah itu sendiri.

Ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan anak akan merasakan kebahagiaan dan kepuasan yang lebih besar dalam hidup mereka.

Cara Mengatasi "Fatherless Society"

Masyarakat perlu didorong untuk lebih menghargai peran ayah dan pentingnya keluarga yang utuh. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye edukasi publik tentang pentingnya peran ayah dalam keluarga dan masyarakat.

Laki-laki perlu dididik tentang pentingnya tanggung jawab ayah dan bagaimana menjadi figur positif bagi anak-anak.

Membangun budaya yang lebih suportif bagi keluarga. Salah satunya mendorong perubahan norma sosial yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak-anak.

Mengatasi "fatherless society" membutuhkan upaya kolektif dan berkelanjutan dari berbagai pihak. Salah satu cara  memperkuat peran ibu dan keluarga dan mendukung peran laki-laki positif supaya dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarga di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun