Sedangkan kebutuhan gas naik sebesar 298%. Pada tahun tersebut nantinya kebutuhan energi secara nasional diperkirakan mencapai sekitar 1.000 MTOE (Million tonnes of oil equivalent) dengan prosentase 44% berasal dari minyak dan gas sehingga ada sekitar 440 MTOE yang harus dipenuhi.
Selain berbentuk produk bahan bakar, olahan MIGAS juga mempunyai produk turunan yang disebut Petrokimia. Produk petrokimia dari MIGAS digunakan sebagai bahan pembuat plastik, serat sintesis, karet, pupuk tanaman, obat-obatan dan detergen.
Menyikapi hal ini bisa disimpulkan bahwa MIGAS masih tetap dibutuhkan untuk menjadi bahan baku produk petrokimia. Sehingga usaha eksplorasi MIGAS harus tetap dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang ada
Eksplorasi MIGAS dan Investor
Secara umum eksplorasi MIGAS rentan mengalami risiko kerugian jika tidak berhasil menemukan titik sumber MIGAS yang sesungguhnya. Tingginya biaya eksplorasi MIGAS membuat pemerintah Indonesia membuka peluang sebesar-besarnya dengan mengundang investor untuk berkontribusi dalam pencarian sumber MIGAS.
Menurut Bp. Nanang Untung, Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Integrasi, Koordinasi dan Interface Migas, pemerintah Indonesia mengajak kerjasama untuk investasi hulu MIGAS kepada perusahaan swasta lokal maupun perusahaan negara asing. Â Hal ini akan menjadi tema dalam diskusi kegiatan 47th IPA Convex 2023 pada tanggal 25 - 27 Juli 2023 di ICE BSD City Kab. Tangerang, Banten
Cara kerjasama eksplorasi MIGAS di bagian hulu ini dianggap tidak memberatkan kondisi keuangan negara. Konsep yang ditawarkan pemerintah Indonesia dengan mengundang investor adalah penerapan  cost recovery dengan skema bagi hasil.
Keuntungan konsep cost recovery, pemerintah tidak mengeluarkan modal usaha, pemerintah tidak menanggung risiko keuangan atau kerugian serta pemerintah mendapat penerimaan pajak dari investor yang mengeksplorasi MIGAS.Â
MIGAS yang Ramah Lingkungan
Melihat kebutuhan MIGAS di Indonesia yang belum sepenuhnya bisa dihilangkan maka perlu dibuat teknologi MIGAS yang ramah lingkungan. Teknologi ini disebut Sistem Penangkapan CO2 atau Carbon Capture and Storage (CCS).
Menurut penjelasan Bp. Nanang Untung (Tenaga Ahli Menteri ESDM), CCS adalah teknologi yang dapat mengurangi emisi CO2 dari hasil pengolahan minyak bumi ke atmosfer.
Cara kerja CCS yaitu, CO2 dari sumber emisi gas buang ditangkap (capture) dengan teknologi absorpsi. Penangkapan CO2 digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial.
Selanjutnya CO2 diangkut (transportation) menggunakan pipa atau tanker seperti pengangkutan gas pada umumnya (LPG, LNG)