Seminggu kemudian hasil ulangan Matematika dibagikan. Tibalah giliran Bu Yuli memanggil namaku dan aku maju ke depan kelas tanpa rasa ragu.
"Kamu belajar yang lebih rajin lagi ya," kata Bu Yuli.
"Maksudnya, Bu?" aku bertanya seraya mengernyitkan dahi.
Aku pun melihat hasil ulanganku dan menemukan sesuatu yang tidak biasanya. Aku kaget bukan kepalang melihat nilai sendiri.
Nol!
Hm... Nampaknya bukan angka nol biasa. Bu Yuli memberikan dua mata, satu hidung, dan satu bibir tersenyum di sana.
Ah bukan. Angka nol itu bukan sedang tersenyum kepadaku, tetapi angka nol itu menertawaiku. Tepatnya menertawakan kesombonganku.
Sepanjang sejarah perjalanan sekolahku baru kali ini aku dapat nol. Aku merasa menyesal dan malu karena telah meremehkan teman-temanku kemarin. Padahal aku juara kelas selama dua semester berturut-turut sewaktu duduk di kelas 1 SMA.
Angka satu dan nol berdampingan yang biasa kuperoleh tak terpampang lagi di kertas ulanganku. Aku menjadi kehilangan semangat dan motivasi belajar yang dulu. Apalagi jika mengingat angka nol itu lagi yang hanya berdiri sendiri, tanpa angka satu yang menemani.
Aku pun langsung tersadar dan menyalahi kesalahan yang telah kulakukan. Aku bersikap sombong dan Allah menegurku dengan segera. Jadi kuanggap angka nol itu sebagai teguran langsung atas kesombonganku. Astaghfirullah.
Aku berjanji kepada diri sendiri supaya lebih rendah hati dan belajar lebih giat lagi. Nilai ulangan berikutnya harus lebih baik dari nilai nol yang kemarin kutemui.