Malam itu terasa berbeda di kota kecil yang dikelilingi oleh bukit dan sungai. Langit kelam, tetapi tidak seperti biasanya. Sepertinya bintang-bintang semakin dekat, seolah-olah mereka sedang turun untuk melihat apa yang terjadi di bumi. Angin pelan mengalir, mengeluarkan bau hujan yang belum turun. Aku duduk di balkon rumahku dan melihat ke jalan setapak yang tidak ada orang. Biasanya, pada saat-saat seperti ini, desa akan mulai tenang. Anjing hanya menggonggong sesekali, dan lampu rumah redup. Desa tetap tidak tidur malam ini.
Rumah tua Pak Rahmat di seberang jalan masih terang benderang. Tidak seperti saat dia mematikan lampu tepat pukul sepuluh, pria tua itu sekarang berdiri di depan jendela dan melihat ke langit. Wajahnya serius, seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu pada malam itu. Suara nenekku memecah lamunan. Membawa selimut tebal, dia menyusulku ke balkon. Meskipun saya merasa ada sesuatu yang salah, saya menjawab, "Tidak ada." "Kadang-kadang, malam punya rahasia. Tapi tak semua rahasia perlu kita tahu," kata nenek sambil menyelimuti pundakku. Dia menatap ke arah langit yang sama.
Aku mengangguk, tidak yakin apa yang dia katakan. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan setelah nenek masuk ke rumah. Saya keluar dari kenyamanan balkon karena rasa penasaran.
Jalan-jalan di desa yang biasanya tenang ternyata dipenuhi dengan orang-orang yang tidak biasa. Aku menyaksikan penjual sayur di pasar Bu Siti duduk di teras rumahnya dengan mata kosong. Di ujung jalan, ada warung kopi yang penuh dengan anak-anak muda, yang lebih ramai dari biasanya. Ada keheningan aneh di tengah keramaian itu. Sepertinya semua orang tahu sesuatu tetapi tidak mau mengatakan.
Ketika saya melewati rumah Bu Siti, ia memanggilku, "Nak, apa kamu mendengar suara itu?""
"Entahlah. Seperti bisikan. Tapi mungkin aku hanya lelah," kata Bu Siti sambil menatap ke langit, mencari sesuatu di antara bintang-bintang.
Aku bergerak maju. Sekarang jalan yang terasa familiar menjadi sesuatu yang asing. Udara malam semakin dingin, dan bayangan pepohonan terlihat lebih panjang dari biasanya.
Aku bertemu dengan Hasan, teman kecilku, di ujung desa. Di pinggir sungai, ia duduk di atas batu besar dengan wajah kosong.
"Kamu kenapa duduk di sini, San?" tanyaku.
Aku merasa ada sesuatu yang hilang, kata Hasan sambil menatap pelan ke sungai.