Mohon tunggu...
Bayu Arif Ramadhan
Bayu Arif Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - 22 thn, Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menulis sebagai hobi dan pengisi luang waktu

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola China Merajut Mimpi melalui Naturalisasi

20 Juli 2019   01:37 Diperbarui: 21 Juli 2019   13:40 1811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai peta persebaran kekuatan persepakbolaan Asia saya yakin apabila publik pencinta sepakbola tidak menafikan bahwa sepakbola Asia masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan tradisional seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, Australia, dan negara-negara dari sub-kawasan Timur Tengah (Asia Barat) seperti Arab Saudi. 

Baru-baru ini juga Qatar perlahan menggebrak muncul dalam kalangan elit tim sepakbola Asia yang lagi-lagi menunjukkan kompaknya kedigdayaan tim-tim Asia Barat dan Asia Timur.

Dibalik digdayanya tim-tim yang disebutkan di atas agaknya sedikit bijak direnungkan bahwa dominasi negara tradisional dalam sepakbola Asia masih kental diwarnai gap kualitas yang masih terlalu jauh antar negara-negara di kawasan bahkan dalam lingkup yang lebih kecil yakni sub-kawasan itu sendiri. 

Tidak terlalu sulit menerka oleh karena kita dapat mengambil contoh dengan mudah seperti halnya bicara sepakbola Asia Barat tidak dapat dipisahkan dari Arab Saudi dan Iran, sedangkan membahas Asia Timur akan sulit menceraikannya dari popularitas Jepang dan Korsel. 

Atau bahkan siapa sih yang tidak mengenal tangguhnya dominasi Thailand dan Vietnam mewakili Asia Tenggara meskipun Asia Tenggara mulai menunjukkan progres keketatan kualitas beberapa tahun terakhir.

China sebagaimana yang banyak diketahui  adalah negara dengan status tidak terbantahkan sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia pun setali tiga uang dengan kultur prestasi dalam aspek olahraga yang semakin mentereng dalam beberapa tahun terakhir. 

Setidaknya hal tersebut dapat digambarkan dengan bagaimana pencapaian China dalam Olimpiade Beijing 2008 sebagai tuan rumah ataupun dalam beberapa edisi Olimpiade terakhir. 

Gambaran yang menunjukkan bagaimana kualitas China meningkat begitu pesat---China tumbuh sebagai negara Asia yang perlahan mendominasi cabang olahraga populer seperti akuatik, gimnastik, angkat besi, bulu tangkis, hingga loncat indah tidak hanya di level Asia tetapi bahkan dunia.

Akan tetapi dibalik gemilangnya prestasi China dalam sejumlah besar cabang olahraga tersebut sejatinya masih ada yang mengganjal di dalam benak mayoritas masyarakat China. 

Negara tersebut begitu digdaya dalam sejumlah besar cabang olahraga, tetapi sebaliknya tidak dengan sepakbola. Dalam cabang olahraga yang diklaim sebagai olahraga paling populer di masyarakat dunia tersebut China tak ubahnya negara kelas tiga, bahkan dalam level sub-kawasan di mana China harus "legowo" menerima dominasi kultur sepakbola Jepang dan Korea Selatan yang begitu menggeliat bertahun-tahun lamanya. Sebaliknya sepakbola China secara ironi seolah berjalan di tempat.

Dominasi Jepang dan Korea Selatan dalam sepakbola sebagai akumulasi keberhasilan kultur sepakbola sejak 1990-an di mana Jepang dan Korea Selatan sama-sama tampil di beberapa edisi Piala Dunia sebelum akhirnya secara sempurna menegaskan identitas mereka sebagai "Macan (Sepakbola) Asia" dengan performa sebagai tuan rumah Piala Dunia 2002.

Kberadaan kompetisi dengan sistem dan iklim kompetisi cukup bagus, sampai pembinaan disiplin dan pembibitan berjenjang pemain muda, tentu saja sedikit banyak mulai mengusik China. Terlebih kepada Jepang yang memiliki ikatan klasik sebagai rival China oleh sebab historis maupun politis.

Sehingga tidak mengherankan apabila lambat laun China yang masih penasaran akan peruntungan yang lebih baik dalam sepakbola mencoba mempertegas determinasinya untuk mengejar ketertinggalan dengan para kiblat sepakbola Asia.

 Hal yang dapat dimaklumi apabila mendalami kondisi persepakbolaan China yang dapat dikatakan masih jalan di tempat dibandingkan Jepang atau Korea Selatan. 

Apabila publik China sudah begitu antusias melihat pemain timnas mereka yakni Wu Lei memperkuat klub La Liga Espanyol, sebaliknya baru-baru ini Jepang sudah lebih jauh mengirmkan Takefusa Kubo ke Madrid dan Hiroki Abe menuju Barcelona setelah cerita sukses pendahulunya seperti (Kazu) Miura, (Hide) Nakata, (Shunsuke) Nakamura, (Keisuke) Honda atau (Shinji) Kagawa. Demikian juga publik Korea Selatan yang tentu saja boleh menepuk dada dengan jalan karir Son-Heung Min yang berjasa besar bagi Tottenham tampil di final Liga Champions.

Determinasi China ini ditegaskan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2012. Xi yang juga diketahui sebagai presiden dengan hasrat besar terhadap sepakbola menegaskan bahwa China di bawah pemerintahannya memiliki sejumlah mimpi besar terhadap sepakbola. 

Antara lain adalah menyelenggarakan dan meloloskan Timnas China ke Piala Dunia, hingga impian untuk membawa China menjuarai turnamen sepakbola internasional terbesar di dunia tersebut.  

Hanya tentu saja untuk merealisasikan hal tersebut tidak akan semudah Xi mengeluarkan pernyataan atau membalik telapak tangan. Sebab kualitas sumber daya persepakbolaan China dapat dikatakan masih jauh dari apa yang diharapkan.

Persepakbolaan China mengalami stagnasi setelah terungkapnya skandal korupsi dan pengaturan skor dalam sepkbola China pada 2009 yang menghabiskan waktu penyelidikan sampai dengan 3 tahun serta menyeret sejumlah nama penting dalam persepakbolaan China seperti mantan kepala federasi Nan Yong dan Xie Yalong. 

Terungkapnya skandal korupsi dan pengaturan skor ini berdampak besar terhadap perkembangan sepakbola China selanjutnya yang kadung terpapar citra buruk sehingga membuat banyak orang tua yang enggan memasukkan anak-anaknya ke dalam pembinaan sepakbola.

Dampak selanjutnya yang terjadi dengan minimnya dukungan terhadap sepakbola pasca skandal tersebut adalah kurangnya ketersediaan fasilitas latihan dan pembinaan sepakbola domestik China. Sehingga tidaklah mengejutkan apabila timnas junior China seperti level-U20 selalu gagal lolos menuju Piala Dunia selama kurang lebih 14 tahun, berbanding terbalik dengan Korea Selatan yang bahkan baru saja mengukir prestasi lolos menuju final dan pemainnya sendiri (Kang In-Lee) bahkan sudah bermain di Valencia.

Sejumlah keterbatasan dan hambatan yang dialami oleh China ini selanjutnya membuat China terinspirasi untuk mendobrak tradisi lama yakni China yang sangat ketat dalam urusan seleksi pemain termasuk menomorsatukan pemain dengan garis keturunan murni China. Pertimbangan ini didasarkan atas masih begitu terbatasnya kualitas sumber daya pemain lokal China sehingga upaya keras China untuk memperbaiki kualitas timnasnya melalui kontrak pelatih asing sekelas Marcelo Lippi sampai Fabio Cannavaro masih terasa sia-sia. Ditambah lagi dengan tuntutan kondisi dunia yang semakin mengglobal termasuk dalam aspek sepakbola, yang membuat banyak pemain dengan garis keturunan non-murni pun dapat leluasa membela timnas meskipun bukan timnas negara asalnya.

China mungkin terinspirasi dari bagaimana kisah keberhasilan Qatar menjuarai Piala Asia 2019 dengan komposisi pemain timnas mereka yang tak ubahnya merupakan hasil dari kombinasi pemain multinasional dengan pemain muda bertalenta sebagai hasil pembinaan domestik. 

Pemain-pemain multinasional Qatar ini pun diakomodasi dari klub Qatari League (Liga Qatar) sampai dengan pembinaan usia muda berjuluk Aspire Academy yang berusaha menjaring bakat-bakat muda internasional untuk kemudian dibesarkan di Qatar. 

Selain Qatar Filipina pun melakukan hal serupa dengan melakukan gerilya pemain naturalisasi dari Jerman dan Spanyol dengan hasil instan seperti perbaikan peringkat FIFA sampai lolos ke Piala Asia. Tidaklah buruk.

Maka secara cepat dan senyap China pun segera mereplikasi langkah tersebut di tengah segala polemik dan pro-kontra publik domestik yang beredar. 

Tanggal 7 Juni 2019 pertandingan ujicoba internasional yang mempertemukan China dengan Filipina menjadi saksi para pemain naturalisasi pertama China dalam cabang sepakbola. Mereka adalah Li Ke (Nico Yennaris), mantan pemain Brentford dan Arsenal serta John Hou, mantan pemain Rosenborg yang sama-sama mewarisi darah keturunan China dari sang ibu. 

Li Ke berposisi sebagai gelandang dan John adalah gelandang serang, keduanya berasal dari klub yang sama yakni Beijing Guoan yang kini berkiprah di China League.

Keberhasilan naturalisasi Li Ke dan John yang memang memiliki garis keturunan China tidak lantas membuat China puas. Dengan ambisi yang begitu besar tentu saja keberadaan pemain naturalisasi yang hanya didapatkan dari garis keturunan dirasakan masih belum cukup. 

Oleh karenanya China segera bergegas mengambil inisiatif naturalisasi kepada talenta-talenta yang tidak memiliki garis keturunan sama sekali terhadap China akan tetapi telah memiliki riwayat tinggal di China. 

Ditambah dengan popularitas Liga China sebagai liga yang menawarkan guyuran finansial berlimpah dan mengundang talenta-talenta luar negeri bermain ke China, maka gelombang pemain naturalisasi China ini dalam waktu cepat begitu deras mengalir.

Dengan dibantu oleh klub masing-masing untuk memperbesar kuota akomodasi pemain asing, naturalisasi terasa begitu mudah bagi pemain bertalenta yang sama sekali tidak memiliki darah China. 

Nama Pedro Delgado sebagai talenta berusia 22 tahun dari Portugal dan Shandong Luneng, menjadi pemain terbaru yang resmi dinaturalisasi dan siap memperkuat Timnas China. 

Selain Delgado rumor begitu deras berhembus jika China disinyalir sedang memproses naturalisasi pemain bintang Shanghai SIPG asal Brazil yakni Elkeson yang merupakan topskor Liga China 2013-2014 bersama Guangzhou Evergrande sebelum mengantar SIPG menjadi juara liga pada 2016. 

China juga dikabarkan secara "gila" berusaha menaturalisasi mantan bek Everton dan timnas U-20 Inggris yaitu Tyias Browning yang baru saja berpindah klub dari Everton menuju Shandong Luneng tahun ini.

Tyias Browning, mantan pemain Everton, Sunderland, dan juga Timnas U-20 Inggris menjadi pemain kesekian yang gencar diisukan segera menyelesaikan proses naturalisasi untuk memperkuat Timnas China. (Photo Credit : VCG/VCG via Getty Images)
Tyias Browning, mantan pemain Everton, Sunderland, dan juga Timnas U-20 Inggris menjadi pemain kesekian yang gencar diisukan segera menyelesaikan proses naturalisasi untuk memperkuat Timnas China. (Photo Credit : VCG/VCG via Getty Images)

Para calon pemain naturalisasi China yang dikabarkan sedang menjalani pemrosesan berkas di luar Elkeson dan Browning antara lain seperti Aloisio yang bermain untuk Southern Tigers di Divisi I China dan mantan top skor Liga China 2015 bersama Shandong Luneng, lalu winger Fernando Henrique yang saat ini bermain untuk Chongqing Lifan. Keduanya sama-sama berasal dari Brazil. 

Selanjutnya juga terdapat nama Roberto Siucho yang berasal dari Peru dan sedang bermain untuk Shanghai Shenxin. Terdapat juga beberapa rumor yang menyebutkan bahwa selain Elkeson, China juga berusaha merayu kompatriot Elkeson yang juga pemain bintang dari Brazil untuk membela Timnas China yakni Ricardo Goulart.

Adapun pemain-pemain naturalisasi ini nantinya diproyeksikan untuk membawa China untuk berprestasi lebih tinggi di kancah internasional setelah kegagalan China pada Piala Asia 2019, terutama untuk merengkuh target lolos kualifikasi Piala Dunia dengan kedatangan kali kedua Marcelo Lippi untuk melatih timnas. 

Hal yang menarik  menunggu bagaimana kiprah para pemain "Generasi Pertama" dari program naturalisasi yang dilakukan Timnas China terhadap prestasi sepakbola China di masa mendatang.

Tentu saja tidak realistis untuk menuntut para pemain naturalisasi China menyulap sepakbola China menuju level permainan ala Timnas Jepang dan Korea Selatan dalam semalam. 

Hanya saja sepertinya akan lebih baik bilamana para pemain naturalisasi tersebut segera memberikan bukti demi meredam polemik pro-kontra yang membelah kalangan masyarakat China mengenai keberadaan pemain naturalisasi yang mendukung peningkatan kualitas talenta lokal atau sebaliknya justru menjadi predator dan membunuh kesempatan bersaing mereka.

"So, Good Luck, China! "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun