Mohon tunggu...
Bayu Arif Ramadhan
Bayu Arif Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - 22 thn, Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menulis sebagai hobi dan pengisi luang waktu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rodrigo"Punisher" Duterte: Dilema HAM dan Penyelamatan Filipina dari Narkoba

28 Agustus 2016   22:16 Diperbarui: 29 Agustus 2016   01:26 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terbayang di pikiran bahkan benak anda ketika menonton film thriller kondang  adaptasi komik Marvel bertitel The Punisher ? Film adaptasi komik Marvel dengan karakter antihero utama bernama Frank Castle ini menceritakan sosok Frank, seorang  pria yang membalas dendam atas terbunuhnya keluarganya oleh mafia, dengan aksi perang seorang diri berupa pembersihan dan vigilante  (main hakim sendiri) kepada setiap pelaku kriminal yang ditemuinya. 

Dan dalam fiksi tersebut, diceritakan sosok Frank alias "Punisher", adalah sosok yang sangat terobsesi pada balas dendam dan menganggap segala bentuk kekerasan bahkan pembunuhan adalah hal yang pantas dibayar untuk memerangi kejahatan. Belakangan dan yang sedang  menjadi perbincangan hangat publik dunia, aksi bengis dan kejam ala sosok Frank "Punisher" Castle  ini tak lagi hanya bisa ditemukan secara fiktif, melainkan benar-benar terjadi di dunia nyata. 

Penerapnya tak lain adalah salah satu negara di Asia Tenggara yaitu Filipina, atas perintah sang presiden yang baru saja terpilih dua bulan yang lalu yakni seorang Rodrigo Duterte. Dengan kampanye presidensil Duterte yakni "pembersihan 100.000 kriminal narkoba untuk menyelamatkan Filipina sampai seruan perang semesta bagi rakyat Filipina untuk melawan kriminal narkoba" , Duterte mendapat sematan julukan baru yakni "Punisher" Duterte oleh majalah TIME, sampai "Dirty Harry" Duterte.    

Duterte bernama lengkap Rodrigo Duterte, adalah presiden terpilih keenambelas Filipina kelahiran Maasin 71 tahun silam. Meski kelahiran Maasin, Duterte hanya setahun bersekolah di sana kemudian pada masa selanjutnya ia berpindah ke Davao. Duterte mengaku dekat dengan Davao dan menganggapnya sebagai rumah sendiri. Bahkan di tempat inilah  awal karir sang presiden di panggung politik  dituliskan. Duterte menjabat sebagai walikota sekaligus pimpinan tertinggi Davao selama dua dekade lamanya. 

Dan pada periode pemerintahannya di Davao inilah pula, Duterte mendapatkan gelar "Punisher" dari majalah berpengaruh dunia TIME.  Atas dugaan keterlibatan Duterte dalam mendukung Davao Death Squad (DDS), unit pembunuh bayaran yang bertanggungjawab atas terbunuh dan hilangnya lebih dari 1000 orang dari berbagai latar belakang kriminal terutama peredaran narkoba, sepanjang periode 1998-2008 yang merupakan salah satu periode Duterte menjabat sebagai walikota Davao. 

Seiring dengan misi Duterte untuk memberantas perdagangan dan kebiasaan penggunaan narkoba di Davao, sekaligus menciptakan suasana yang lebih aman dan tertib bagi Davao selama Duterte menjadi walikota. 

Duterte memenangi pemilu presidensil Filipina pada Mei 2016 dengan keunggulan suara telak atas rival terberatnya, Mar Roxas. Di usianya yang telah menapak 71 tahun sekaligus mengukuhkan Duterte sebagai presiden tertua kedua Filipina sesudah nama Sergio Osmena.  Meski baru menjalani penobatan secara resmi sebagai presiden dan bertugas di Malacanang pada Juni 2016, Duterte telah dituduh menjadi orang yang bertanggung jawab di balik layar atas tewasnya kurang lebih 800 orang yang terlibat jaringan narkoba di Filipina. 

Pada pidatonya semenjak menjabat walikota di Davao, Duterte telah berkali-kali bersumpah untuk memerangi bahkan memberantas jaringan peredaran narkoba Filipina yang dinilainya telah membunuh ribuan bahkan ratusan ribu nyawa tak berdosa rakyatnya sendiri sepanjang tahun. Duterte mengaku telah mengantongi kurang lebih 150 nama pejabat Filipina dari bermacam latar belakang seperti pejabat Kongres, hakim, bahkan petinggi militer yang dicurigai memiliki koneksi dengan jaringan peredaran narkoba negara tersebut.  

Ia memiliki kewajiban memberitahukan hal tersebut kepada rakyat Filipina dan sebaliknya, rakyat Filipina berhak untuk mengetahui nama-nama tersebut, menunjukkan bahwa negara mereka kini telah menjadi negara yang narko-politik. Sekaligus, pada pidatonya tersebut Duterte pada posisinya sebagai presiden Filipina mengumumkan "perang" terhadap jaringan narkoba dan kriminal di negara tersebut, sekaligus mengajak rakyat Filipina untuk ikut menyukseskan seruan tersebut dengan diperbolehkan menangkap, bahkan membunuh para bandar narkoba atau pengedar dan pelaku kriminal lain dengan iming iming hadiah beribu peso, hadiah tersebut juga dijanjikan Duterte pada pecandu narkoba yang mau menyerahkan diri.

Duterte boleh saja awalnya mengelak pada tuduhan tersebut, namun penyelidikan Amnesti Internasional pada peningkatan jumlah pelaku kriminal yang tewas oleh death squad Davao pada periode kedua Duterte menjabat sebagai walikota, dan meningkatnya kembali jumlah pelaku kriminal yang tewas secara pesat, terutama setelah pidato deklarasi Duterte selaku presiden mengenai perang terhadap jaringan narkoba Filipina membuat  sang "Punisher" dari Davao tak lagi sanggup berkelit. 

Kurang lebih 50 pelaku kriminal dan bandar narkoba ditemukan tewas pada empat hari pertama terhitung sejak Duterte mengumumkan deklarasi tersebut. Disusul 500.000 orang pecandu dan pengedar narkotik menyerahkan diri pada awal aksi kampanye anti-narkoba presiden. Korban tewas ditemukan di sepanjang jalan, kolong jembatan, bahkan ruang publik dan keramaian lainnya di Manila. Mereka dibunuh oleh orang-orang yang mengendarai sepeda motor tak berpelat nomor, dengan topeng dan pakaian serba hitam, yang membunuh dengan cara menembak belakang kepala atau menikam.  Death squad Duterte kini tak lagi hanya merajah Davao.

Tindakan yang seringkali disebut sebagai pembunuhan ekstra-yudisial (pembunuhan yang dianggap legal dan tanpa sanksi  dari proses hukum yang berlaku) ini tentu saja menuai protes kemanusiaan dari berbagai pihak. Terutama dari lembaga dunia seperti Human Right Watch PBB. Amnesti Internasional, Kongres yang diwakili Senator Leila de Lima, dan pemimpin Katolik seperti Socrates Villegas. Senator Leila de Lima menganggap bahwa metode ekstra-yudisial death squad ala Duarte tidak mewakili poin Konstitusi Filipina. Sedang Socrates Villegas menilai bahwa metode Duarte malah mengubah perilaku generasi pecandu narkoba Filipina menjadi generasi pembunuh jalanan yang dianggapnya lebih menjadi suatu mimpi buruk. 

Dari pihak Human Right Watch PBB, malah mengancam Duterte bahwa mereka akan mengirim ahli untuk menyelidiki lebih lanjut death squad dan keterlibatan Duterte.  Duterte mengaku tidak peduli dan berbalik mempertanyakan peran PBB yang useless sepanjang terjadinya konflik di Timur Tengah terutama Irak dan Syiria. Dan menurut Duterte, PBB tidak akan turut bertanggungjawab akan kerusakan moral berkelanjutan generasi muda Filipina jika peredaran narkoba di negeri itu terus mengalir dan dibiarkan.

Duterte bahkan mengancam PBB bahwa bisa jadi ia mempertimbangkan keluarnya Filipina dari PBB dan membentuk organisasi lain bersama China dan negara lain termasuk Afrika. Hal yang bisa jadi membawa harmonisasi baru Filipina-China sejak rivalitas panas mereka mengenai nine dashed line  Laut China Selatan pada masa Benigno Aquino III.

Death Squad bentukan Duterte ditengarai merupakan jebolan New Peoples Army, sayap partai kiri Filipina yang diminta langsung oleh Duterte untuk membantunya membasmi para bandar narkoba Filipina dan jaringannya. Death Squad ini tak hanya beranggotakan pria, bahkan perempuan juga direkrut untuk melancarkan operasi Duterte dengan logika bahwa perempuan akan lebih mudah mendekati terduga kriminal dan lebih tidak dicurigai. 

Anggota Death Squad yang berhasil membunuh satu kepala, akan diganjar imbalan dua puluh ribu peso atau sekitar lima juta rupiah. Jumlah yang diakui termasuk banyak oleh para anggota yang kebanyakan hanya berprofesi sebagai sipil untuk biaya bertahan hidup meski jumlah sedemikian kadang harus dibagi dengan anggota yang lain. Death Squad ditengarai juga mendapatkan kebebasan dan imunitas dari aparat kepolisian dan militer seiring dengan support Duterte sendiri atas langkah pembunuhan gelap yang mereka lakukan. 

Aparat Filipina juga ditengarai menyokong aksi death squad dengan respons kepada tiap laporan pembunuhan yang diperlambat. Posisi ini membuat musuh anggota death squad hanya satu yakni para bandar narkoba dan kriminal lain di sekelilingnya, yang menurut mereka tak kalah sadis dan menuntut para anggota untuk secara cerdas menyembunyikan dan secepatnya berganti identitas.

Hal ini juga membuktikan bahwa langkah kejam Duterte adalah diikuti oleh kebersihan aparatur negara yang ingin dibuat dan dijunjung Duterte. Death squad Duterte diatur sedemikian rupa olehnya untuk bisa berkorelasi dengan baik seperti pada kepolisian untuk membasmi sesuatu yang telah mengakar kuat dan sulit dibasmi di Filipina yaitu peredaran narkoba. Sesuatu yang mustahil adanya dilakukan tanpa terciptanya sistem aparatur yang bersih dan tanpa kongkalikong terhadap jaringan yang menjadi buruan sendiri. 

Oleh sebab itu Duterte pernah berujar bahwa "hukum tidak memerintah presiden untuk melindungi pejabat", dan menjamin imunitas anggota kepolisian dan militer atas tuduhan pembunuhan jika mereka melakukan hal tersebut (ekstrayudisial terhadap bandar narkoba dan kriminal). Duterte juga pernah berkata bahwa "percayalah, aku tidak peduli tentang HAM", bersamaan bahwa instruksi masyarakat sipil untuk memerangi pelaku narkoba bahkan kriminal dengan menembak sampai membunuh, adalah berlaku sampai Duterte masih hidup menjabat.

Begitu tegasnya Duterte melawan narkoba dan keinginannya menyelamatkan filipinos dari sesuatu yang membuat hancur hidup mereka yang tak terhitung jumlahnya menurutnya lebih penting daripada hanya "menghitung jumlah korban kriminal yang tewas oleh death squad maupun sipil biasa". Duterte juga mengaku jengah dengan peredaran narkoba di negerinya terutama terhadap sabu-sabu dan zat metamfetamin yang dikandungnya karena berasal dari reaksi kimia. 

"Enam bulan sampai setahun ketagihan, lalu banyak  pemuda Filipina akan mengalami kerusakan otak setelah mengonsumsinya", ujar sang Punisher pada suatu kesempatan mengacu pada bobroknya mentalitas dan kehancuran hidup banyak pemuda Filipina akibat bahaya peredaran narkoba. Opini dan impresi rakyat Filipina pun terbelah. Antara memuji, atau mencaci Duterte, bagai berusaha memilih stempel penilaian yang pas yaitu malaikat ataukah malah iblis pada sosoknya. Sedang tekanan publik luar mengenai penegakan kemanusiaan tentu masih saja gencar kepada sang presiden.

Bagaimanapun kisah dan aksi yang dilakukan Duterte tentu dimaksudkan sebagai sesuatu yang baik pada keselamatan bangsanya Filipina, terhadap apa yang sering disebut sebagai penghancur generasi mudanya yaitu narkoba. Sesuatu yang terbilang bengis dan semacam "kok bisa gitu ya (?)"  ketika Duterte bahkan membentuk suatu death squad dari sipilnya sendiri yang melakukan aksi petrus (penembakan misterius) dan bahkan telah mempunyai bekal berupa daftar calon korban incarannya. Alasannya simpel, karena menurut Duterte jika memerangi narkoba hanya bergantung via berbagai toleransi dan rehabilitasi tanpa tindakan tegas, mata rantai peredaran narkoba berujung kerusakan moral-mental jutaan generasi muda filipinos tidak akan putus. Duterte ingin membasmi narkotika yang ibarat jamur Filipina, sampai ke akar-akarnya.

Meski metodologi petrus kali ini yang dilakukan ala Duterte, adalah untuk menegakkan gaung perlawanan rakyat melawan segala bentuk toleransi narkotika, bukan malah diselewengkan sebagai alat hegemoni politik dengan melakukan petrus pada mereka yang disebut suara rakyat via perwakilan-perwakilan yang dahulu dianggap bersuara nyaring terhadap pemerintah. 

Secara menyentil pula, bahwa Duterte menegakkan perang pada narkotika dengan berusaha menjamin bahwa segala birokrasi dan aparatur negara benar-benar bersih seutuhnya dan tidak terlibat, atau mereka akan berakhir hidupnya di tangan death squad. Seolah seperti suatu sarkasme pada penegakan hukum dan usaha pembasmian narkotika di negara ini yang kadang birokrasinya masih berbelit, dan banyak aparatur terlibat main mata dan kongkalikong. Percayalah, selama di negeri ini hal tersebut masih terjadi, tempat rehabilitasi niscaya cuma ditakdirkan untuk hanya disesaki, lalu akhirnya ditambah lagi. Membuat pemberantasan narkoba kadang hanya wangi sebagai bunga-bunga slogan, penegakan hanya sampai ranting, belum sampai akar Hehehehe ...   

            Tak berperikemanusiaan agaknya, tapi salut untuk komitmen tanpa pandang bulu Duterte demi menyelamatkan masa depan jutaan generasi muda Filipina dari bahaya laten narkoba. Kapan Indonesia ?                                     

"Hukum tidak memerintah presiden untuk melindungi pejabat"-   Rodrigo "Punisher" Duterte                                            

"Dont count to the victims of the drug traffickers, but also innocent lives who have lives lost to the drugs"- Rodrigo "Punisher" Duterte

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun