JAS MERAH !, Â Jangan sekali-kali melupakan sejarah ", Â suatu jargon yang amatlah populer dari seorang proklamator bangsa ini. Proklamator Bangsa Indonesia yang sekaligus adalah salah satu Bapak Bangsa, seorang berjuluk "Putra Sang Fajar" yang termahsyur itu. Seorang Ir. Soekarno. Â Jargon ini adalah salah satu dari beberapa jargon yang pernah diuraikan Ir. Soekarno dalam tiap pidatonya yang akan selalu dikenang, pidato-pidato yang senantiasa akan membakar semangat dan emosi rakyat Indonesia di masa tersebut yang konon senantiasa menyesaki tempat dimanapun pidato beliau dikumandangkan.Â
    Soekarno yang dikenal sebagai salah seorang orator terbaik Indonesia pada masanya, lewat jargonnya yang terurai lewat tulisan saja masih bisa terasa bagaimana bara semangat pidato beliau mengalir daripadanya. Sampai di masa kini ketika beliau sudahlah tiada. Namun, apakah slogan JAS MERAH yang senantiasa bergaung sampai sekarang di tiap surat kabar, pamflet, buku, bahkan berbagai kalangan dari anak muda sampai usia lansia, hingga sampai bergaung di banyak acara-acara aksi mahasiswa masih relevan dengan generasi masa kini Indonesia ? Anjuran sakral Soekarno untuk tidak melupakan sejarah sedikitpun ini bagaimana kabarnya ?
350 tahun lamanya Indonesia hidup dalam cengkeraman kuat  imperialisme Negeri Ratu Beatrix, Negeri Para Seniman Pengairan, atau lebih populernya Negeri Kincir Angin alias Belanda. Bukan hanya penjajahan secara pengerukan paksa sumber daya alam, melainkan sampai pula pada supresi-supresi budaya lokal yang merupakan simbol perlawanan terhadap penjajahan dan internalisasi pengaruh paksa budaya Belanda terutama budaya baru Barat.Â
      Bahkan, begitu mudah masuknya Belanda ke segala lini kehidupan masyarakat Indonesia di masa tersebut, terutama setelah hampir semua daerah Nusantara ditaklukkan pada awal abad ke-20. Sehingga zaman kelam tersebut dinamakan pula zaman Imperialisme Belanda, bukan hanya kolonialisme. Penjajahan Belanda sempat beralih tangan ke tangan Angkatan Perang Jepang yang ambisius pada awal Perang Dunia II, lima tahun penuh kesengsaraan dan berdarah yang lazim disebut Masa Pendudukan Jepang, menjadikan Indonesia sebagai suporter langsung bahan baku Angkatan Perang Jepang melawan Sekutu dalam Perang Dunia.Â
 Usai kalahnya Jepang, memberi tonggak besar pada berdirinya bangsa ini yaitu momentum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Meski berusaha diterkam kembali oleh agresi Belanda edisi pertama dan kedua, maupun konferensi-konferensi negara boneka yang menyudutkan, Indonesia akhirnya berhasil lepas dari cengkeraman aksi polisionil maupun politis nan licik Belanda, berupa pengakuan via Perjanjian KMB Den Haag pada 1949, hingga Irian Barat berhasil pula direbut pada 1963 secara heroik lewat Operasi Trikora.Â
Seluruh wilayah Indonesia akhirnya berdiri secara utuh dibawah naungan Ibu Pertiwi, menyisakan Timor-Timur yang masih diliputi konfrontasi. Hingga Indonesia yang pada masa itu tersebut sudah masuk Masa Orde Lama mengalami peristiwa chaos yang mengubah keseluruhan wajah politik-sosial  Indonesia sampai saat ini, dan tak terlupakan memakan banyak jumlah korban yaitu GS30/PKI.Â
    Berlanjut ke Masa Orde Baru dibawah Rezim Soeharto setelah Soekarno secara politis dilengserkan golongan tertentu di masa tersebut, hingga rezim 32 tahun tersebut berakhir di tangan ribuan mahasiswa yang menduduki gedung MPR setelah melewati momen memilukan bagi rakyat dan mahasiswa sendiri via Tragedi 1998 maupun Trisakti, mereka yang menginginkan adanya reformasi. Dan Indonesia menjalani era reformasi sampai saat ini dengan pergantian jumlah presiden yang sudah memasuki presiden ke-5 di era reformasi. Suatu sejarah berdirinya bangsa yang sangat panjang, berliku, dan penuh pengorbanan. Namun, secara perlahan coba tanyakanlah pada beberapa anak dari generasi saat ini, apakah mereka sudah benar-benar tahu, bahkan sejarah bangsa sendiri ?
Pelajaran sejarah, harus diakui menjadi salah satu subjek yang kurang diminati oleh generasi terkini bangsa Indonesia. Barangkali ada semacam anekdot bahwa belajar sejarah itu menggambarkan orang yang senantiasa melihat ke belakang, tidak visioner, susah move on, sudah tua, tidak kekinian, dan sebagainya. Secara stigma pada masyarakat, pelajaran sejarah juga tidak dianggap penting dan jauh di bawah pelajaran macam sains dan eksak juga bahasa.Â
    Secara ditinjau lewat stigma ada benarnya pada pendidikan sekarang, namun pada implikasinya tidak suka sejarah juga tidak melulu baik meski implikasinya adalah lebih ke penanaman nasionalisme bangsa pada diri maupun pada penguatan karakter dan identitas personil sebagai bangsa Indonesia. Ingat, tanpa disadari sebenarnya sejarah sedikit demi sedikit mendorong kita pada hal tersebut.Â
Masih terekam jelas dalam ingatan saya ketika seorang artis dangdut diangkat menjadi duta, bukan sembarang duta melainkan duta Pancasila, dasar ideologi bangsa Indonesia dan dasar berdirinya negara. Pengangkatan beliau sebagai duta bahkan seusai beliau kedapatan melakukan sesuatu yang dianggap sebagai penghinaan terhadap Pancasila.Â
    Agak konyol memang, tapi itulah yang terjadi dan pada akhirnya beliau benar-benar menjadi duta Pancasila, bukan bercanda. Beberapa saat sebelum atau sesudahnya juga kedapatan s gerombolan anak yang secara bangga duduk dengan posisi tidak sopan di atas Monumen Pahlawan Revolusi sambil membawa rokok dan berselfie-ria. Apakah gerangan yang terjadi? Sederhana jawabannya, menunjukkan bahwa mereka tidak "mengetahui" dengan baik sejarah bangsa Indonesia dan ini bukan sekedar tuduhan buta dan tak berdasar.
Jika semestinya berefleksi, Pancasila bahkan sesuatu yang sangat jamak sekali ditemui dan bahkan kali pertama dan berulangkali diucapkan sedari masa sekolah dasar hingga masa sekolah menengah ke atas pada tiap upacara bendera. Selain tentu saja sebagai posisinya, Pancasila merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan diperlakukan dengan baik sebagai pondasi berdirinya bangsa Indonesia dan simbol tujuan hidup bangsa Indonesia.Â
     Namun, segelintir orang masih ada yang belum hafal bahkan sama sekali tidak hafal. Beberapa malah kedapatan sebagai orang yang besar dan mempunyai posisi penting nan tinggi di masyarakat. Termasuk sang duta Pancasila. Sedang perilaku gerombolan anak tadi yang dengan bangga ber-selfie dengan pose ala gaul di patung Pahlawan Revolusi, entah bagaimana sebenarnya. Apakah memang tidak tahu sehingga tidak peduli, ataukah memang tahu tetapi tak peduli ?  Entahlah, sebab jika sejatinya mereka tahu sejarah dan "mau tahu", harusnya mereka paham apakah senonoh atau tidak untuk bertindak demikian yang merupakan tergolong perilaku miris dan memprihatinkan. Generasi terkini Indonesia, dan itulah yang terjadi.Â
Masih terngiang pula dalam benak saya ketika melihat Youtube beberapa waktu lalu, saya kedapatan melihat video seorang pengendara motor yang dipukuli oleh oknum suatu kelompok karena entah secara sengaja atau tidak terpasang pin PKI di baju yang dikenakannya. Pemukulan yang tergolong brutal dan bahkan tidak mengajak atau menanyai pengendara motor tersebut baik-baik. Dengan catatan sejarah bahwa PKI telah resmi menjadi partai terlarang, dibekukan, semenjak masa Orde Baru.Â
   Dengan logika bahwa sudah lebih dari setengah abad partai ini telah mati, pimpinan dan pendukungnya pun besar dipastikan sudah tidak ada. Dan aksi main hakim sendiri akibat atribut kecil, tanpa melalui perantara pihak berwajib dan cara yang baik, seolah tidak mengingatkan mereka pada bencana perpecahan sosiologis yang pernah terjadi pada masyarakat Indonesia dan memakan banyak sekali korban jiwa pada masa sebelum dan sesudah G30S/PKI. Suatu hal ironis yang seharusnya mereka sadari jika mereka "mengetahui" sejarah dengan baik, sehingga apa yang mereka lakukan bahwa seharusnya bisa lebih bijaksana.Â
Penggerebekan-penggerebekan yang terjadi pada tempat yang menyimpan bahkan mempelajari Marxisme bahkan terjadi di generasi terkini bangsa Indonesia. Padahal jika mereka mengetahui dengan lebih seksama, Marxis tak melulu berafiliasi dengan komunisme bahkan samasekali berbeda. Dan merupakan hal yang lumrah dipelajari pada studi Hubungan Internasional, Sosiologi, Ekonomi, bahkan Filsafat di tingkat pendidikan universitas. Hal yang tak seharusnya terjadi, jika generasi terkini bangsa mau mempelajari sejarah dengan baik (lagi) sebagai suatu refleksi.
   Mencintai atau bahkan mengenal sejarah bangsa dan identitas berarti pula bisa berwujud tindakan menyayangi cagar budaya yang ada ( historical heritage place ).  Suatu hal yang semacam menjadi sesuatu anomali bagi saya sepanjang 19 tahun saya hidup. Terutama pada generasi masa kini yang ada di sekitar saya. Seiring generasi masa kini, modernisasi menjadi hal yang lumrah untuk didukung terutama oleh generasi mudanya. Hidup di kota penuh cagar budaya dan tempat yang sejatinya punya nilai sejarah, yang perlahan digeser menjadi gedung, pusat perhotelan, kafe, bahkan mall.Â
Dalam tanda kutip, cagar budaya tersebut bahkan teronggok dan tanpa kepedulian dari siapapun, bahkan kepedulian generasi muda yang biasanya sanggup meresistansi, sama sekali tidak ada. Seiring waktu seolah semua hanya mengangguk saja pada perubahan nan cepat tersebut, meski barangkali penasaran pada masa lalu tempat tersebut dan apa yang pernah terjadi. Dan berarti sekali lagi, sejarah tidak bisa lantas menjadi bernilai meski pada hakikatnya adalah sesuatu yang patut dijaga.Â
   Sesuatu yang sungguh, tidak dapat dielakkan, meski kadang bisa juga untuk disayangkan. Lantas tak lama lagi mungkin cagar budaya yang ada di kota ini akan tergerus dan makin gersang. Mahakarya sang arsitek kota, seorang Belanda bernama Thomas Karsten, seolah disiakan begitu saja oleh penghuni kota ini  di masa sekarang. Tidak menyalahkan, namun adakalanya pantas disebut sebagai sebuah ironi hehehe ... kejamnya intensitas hidup di masa kini membuat identitas awal, asal-usul dan kearifan kota bahkan seolah tak penting lagi. Bahkan pada generasi mudanya yang sering disebut penggerak, mereka yang disebut para reformator alami.Â
Museum yang kini hanya menjadi  jujugan murid sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak. Tak sepopuler kafe-kafe urban khas pemuda-pemudi urban generation masa sekarang yang begitu antusias nongkrong, terutama di tempat bergengsi. Bahkan seringkali museum dijadikan tempat bermesum ria. Hmmm.. mengapa?Â
   Dengan dalih sepi, gelap, dan tak banyak orang. Mungkin bakal lain cerita jika museum-museum di negeri ini dipenuhi orang bahkan dari generasi mudanya yang begitu antusias ingin mengetahui sesuatu yang berpengaruh dari masa lalu yang sejatinya punya impact besar pada lakon tempat hidup mereka sekarang. Yang barangkali bisa menumbuhkan rasa cinta mereka yang lebih besar pada kotanya sendiri. Tidak hanya digunakan sebagai tempat berselfie dan ber-wefie ria, melainkan disertai sedikit antusias untuk ingin tahu sejarah yang hmm.. mungkin terdengar terlalu idealis bagi generasi muda Indonesia masa sekarang.
Tak hanya museum, bahkan kini seringkali perpustakaan dan tempat pengarsipan sangatlah sepi. Ya, kecuali jelang adanya banjir tugas dan barangkali persiapan skripsi. Minat baca yang kurang pada generasi saat ini mungkin juga adalah hilir yang menuju muara berupa apatisnya sebagian besar generasi Indonesia saat ini terhadap sejarah.Â
    Ketika mencari bahan penulisan mereka datang, kembali lagi untuk mengembalikan, lalu mungkin pada sebagian besar tak pernah datang kembali. Dan barangkali memang bahwa sejarah lebih arif dibaca  berulangkali daripada sekali dua kali, agar tidak timbul berbagai persepsi, melainkan didapatkan satu perspektif yang bijaksana sehingga tidak timbul suatu perpecahan karena pemahaman yang hanya satu sisi pada sentimen lama.Â
Suatu pekerjaan berat dan besar bangsa ini, untuk menumbuhkan minat baca generasi mudanya, terutama terhadap sejarah agar lebih besar timbul suatu rasa cinta tanah air yang tinggi terhadap bangsa yang usianya sudah tak muda lagi kini. Meski tentu saja, bukan sesuatu yang serta merta untuk dapat dipaksakan.
     Barangkali itulah refleksi sederhana dari saya mengenai keprihatinan saya mengenai perhatian generasi muda bangsa saat ini terhadap sejarah.  Yang memang merupakan sesuatu pekerjaan besar dan berat bagi bangsa. Tak serta-merta dapat dipaksakan, namun bukan berarti tak mungkin untuk dapat dilakukan.Â
 Biar selaras dengan jargon legendaris Bung Proklamator berupa "JAS MERAH" yang senantiasa mewangi di tiap masanya.  Agar beliau yang melihat generasi sekarang di Indonesia bersama pahlawan-pahlawan Indonesia yang lain kapanpun masanya, bisa tersenyum melihat generasi mudanya setidaknya masih menghormati dan mengingat selalu hasil jerih payah dan perjuangannya. Dan yang terpenting, adalah agar generasi masa kini Indonesia tidak hanya menganggap sejarah sebagai sesuatu yang tidak penting, bahkan menganaktirikannya, melainkan sesuatu yang tak lain bisa membuat lebih besar bangsanya di masa yang akan datang.  Salam.Â
                          "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri"- Soekarno
                                                                                                   Malang, 24 Agustus 2016
                                                                                     *Penulis adalah mahasiswa 19 thn dan  pemerhati sejarah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI