Jika semestinya berefleksi, Pancasila bahkan sesuatu yang sangat jamak sekali ditemui dan bahkan kali pertama dan berulangkali diucapkan sedari masa sekolah dasar hingga masa sekolah menengah ke atas pada tiap upacara bendera. Selain tentu saja sebagai posisinya, Pancasila merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan diperlakukan dengan baik sebagai pondasi berdirinya bangsa Indonesia dan simbol tujuan hidup bangsa Indonesia.Â
     Namun, segelintir orang masih ada yang belum hafal bahkan sama sekali tidak hafal. Beberapa malah kedapatan sebagai orang yang besar dan mempunyai posisi penting nan tinggi di masyarakat. Termasuk sang duta Pancasila. Sedang perilaku gerombolan anak tadi yang dengan bangga ber-selfie dengan pose ala gaul di patung Pahlawan Revolusi, entah bagaimana sebenarnya. Apakah memang tidak tahu sehingga tidak peduli, ataukah memang tahu tetapi tak peduli ?  Entahlah, sebab jika sejatinya mereka tahu sejarah dan "mau tahu", harusnya mereka paham apakah senonoh atau tidak untuk bertindak demikian yang merupakan tergolong perilaku miris dan memprihatinkan. Generasi terkini Indonesia, dan itulah yang terjadi.Â
Masih terngiang pula dalam benak saya ketika melihat Youtube beberapa waktu lalu, saya kedapatan melihat video seorang pengendara motor yang dipukuli oleh oknum suatu kelompok karena entah secara sengaja atau tidak terpasang pin PKI di baju yang dikenakannya. Pemukulan yang tergolong brutal dan bahkan tidak mengajak atau menanyai pengendara motor tersebut baik-baik. Dengan catatan sejarah bahwa PKI telah resmi menjadi partai terlarang, dibekukan, semenjak masa Orde Baru.Â
   Dengan logika bahwa sudah lebih dari setengah abad partai ini telah mati, pimpinan dan pendukungnya pun besar dipastikan sudah tidak ada. Dan aksi main hakim sendiri akibat atribut kecil, tanpa melalui perantara pihak berwajib dan cara yang baik, seolah tidak mengingatkan mereka pada bencana perpecahan sosiologis yang pernah terjadi pada masyarakat Indonesia dan memakan banyak sekali korban jiwa pada masa sebelum dan sesudah G30S/PKI. Suatu hal ironis yang seharusnya mereka sadari jika mereka "mengetahui" sejarah dengan baik, sehingga apa yang mereka lakukan bahwa seharusnya bisa lebih bijaksana.Â
Penggerebekan-penggerebekan yang terjadi pada tempat yang menyimpan bahkan mempelajari Marxisme bahkan terjadi di generasi terkini bangsa Indonesia. Padahal jika mereka mengetahui dengan lebih seksama, Marxis tak melulu berafiliasi dengan komunisme bahkan samasekali berbeda. Dan merupakan hal yang lumrah dipelajari pada studi Hubungan Internasional, Sosiologi, Ekonomi, bahkan Filsafat di tingkat pendidikan universitas. Hal yang tak seharusnya terjadi, jika generasi terkini bangsa mau mempelajari sejarah dengan baik (lagi) sebagai suatu refleksi.
   Mencintai atau bahkan mengenal sejarah bangsa dan identitas berarti pula bisa berwujud tindakan menyayangi cagar budaya yang ada ( historical heritage place ).  Suatu hal yang semacam menjadi sesuatu anomali bagi saya sepanjang 19 tahun saya hidup. Terutama pada generasi masa kini yang ada di sekitar saya. Seiring generasi masa kini, modernisasi menjadi hal yang lumrah untuk didukung terutama oleh generasi mudanya. Hidup di kota penuh cagar budaya dan tempat yang sejatinya punya nilai sejarah, yang perlahan digeser menjadi gedung, pusat perhotelan, kafe, bahkan mall.Â
Dalam tanda kutip, cagar budaya tersebut bahkan teronggok dan tanpa kepedulian dari siapapun, bahkan kepedulian generasi muda yang biasanya sanggup meresistansi, sama sekali tidak ada. Seiring waktu seolah semua hanya mengangguk saja pada perubahan nan cepat tersebut, meski barangkali penasaran pada masa lalu tempat tersebut dan apa yang pernah terjadi. Dan berarti sekali lagi, sejarah tidak bisa lantas menjadi bernilai meski pada hakikatnya adalah sesuatu yang patut dijaga.Â
   Sesuatu yang sungguh, tidak dapat dielakkan, meski kadang bisa juga untuk disayangkan. Lantas tak lama lagi mungkin cagar budaya yang ada di kota ini akan tergerus dan makin gersang. Mahakarya sang arsitek kota, seorang Belanda bernama Thomas Karsten, seolah disiakan begitu saja oleh penghuni kota ini  di masa sekarang. Tidak menyalahkan, namun adakalanya pantas disebut sebagai sebuah ironi hehehe ... kejamnya intensitas hidup di masa kini membuat identitas awal, asal-usul dan kearifan kota bahkan seolah tak penting lagi. Bahkan pada generasi mudanya yang sering disebut penggerak, mereka yang disebut para reformator alami.Â
Museum yang kini hanya menjadi  jujugan murid sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak. Tak sepopuler kafe-kafe urban khas pemuda-pemudi urban generation masa sekarang yang begitu antusias nongkrong, terutama di tempat bergengsi. Bahkan seringkali museum dijadikan tempat bermesum ria. Hmmm.. mengapa?Â
   Dengan dalih sepi, gelap, dan tak banyak orang. Mungkin bakal lain cerita jika museum-museum di negeri ini dipenuhi orang bahkan dari generasi mudanya yang begitu antusias ingin mengetahui sesuatu yang berpengaruh dari masa lalu yang sejatinya punya impact besar pada lakon tempat hidup mereka sekarang. Yang barangkali bisa menumbuhkan rasa cinta mereka yang lebih besar pada kotanya sendiri. Tidak hanya digunakan sebagai tempat berselfie dan ber-wefie ria, melainkan disertai sedikit antusias untuk ingin tahu sejarah yang hmm.. mungkin terdengar terlalu idealis bagi generasi muda Indonesia masa sekarang.
Tak hanya museum, bahkan kini seringkali perpustakaan dan tempat pengarsipan sangatlah sepi. Ya, kecuali jelang adanya banjir tugas dan barangkali persiapan skripsi. Minat baca yang kurang pada generasi saat ini mungkin juga adalah hilir yang menuju muara berupa apatisnya sebagian besar generasi Indonesia saat ini terhadap sejarah.Â