Akhir-akhir ini muncul suatu fenomena seseorang dikatakan 'filsuf.' Pertanyaannya adalah apa atau siapa itu filsuf? Apa dasar seseorang dapat disebut filsuf?
Dalam sejarah intelektual umat manusia, sebutan filsuf hanya disematkan kepada orang-orang yang pemikirannya mempunyai nilai filosofis, dan layak dikaji secara filsafati.
Mempunyai nilai filosofis dan layak dikaji secara filsafati berarti pemikiran seseorang itu menjawab pertanyaan tentang setidaknya tiga aspek yang menjadi ciri dalam filsafat: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Baca juga : Mengenal Pythagoras: Filsuf Matematika, Bapak Numerologi
Menjawab persoalan ontologis berarti pemikiran seorang filsuf tersebut mampu menjelaskan sifat-sifat atau bentuk-bentuk dasar dari realitas; entah apa itu realitasnya, bisa saja realitas dunia secara keseluruhan, atau realitas budaya manusia yang lebih spesifik: politik, ekonomi, seni, dll, tapi penjelasannya bersifat utuh dan mendasar.
Menjawab persoalan epistemologis, berarti pemikiran seorang filsuf haruslah dapat menjelaskan syarat-syarat dapat disadarinya hakikat atau dasar realitas tersebut.
Dan, yang terakhir, menjawab persoalan aksiologis, berarti pemikiran seorang filsuf itu mampu menjadi alat pertimbangan etis, menjelaskan baik atau buruk-kah nilai suatu tindakan manusia, dalam perspektif yang menyeluruh (universal) dan mendasar (substantif).
Baca juga : Filsuf Thomas Hobbes, Kiamat Zombie dan Krisis Covid-19
Disamping, semua penjelasannya haruslah bersifat logis, tidak tumpang tindih (identik), dan tidak kontradiktif.
Jika seseorang mengutara-kan pemikirannya atas dasar retorika belaka, ia belumlah dapat dikatakan seorang filsuf. Pada filsuf, kata-kata mempunyai pertanggungjawaban ontologis, epistemis, dan etis. Kata-kata itu selalu dapat diperiksa dan digugat kebenarannya. Pada filsuf, kata-kata tidak bersifat hegemonial belaka.Â
Kata-kata bersifat hegemonial artinya kata-kata itu hanya mengeluarkan makna yang justru menghambat kesadaran untuk masuk pada makna yang sesungguhnya, yakni: ontologi yang hendak direpresentasikan oleh kata itu.Â
Baca juga : Ketika Seorang Filsuf Bermain Media Sosial
Dalam hegemonial kata, maknanya hanya berputar pada sensasi di permukaan yang membuat aprehensi atau kesan yang menyilaukan, yang justru menutup dari makna yang sebenarnya. Kesilauan-nya itu tidak memberi terang, justru menggelapkan yang sesungguhnya.Â
Hanya saja, dewasa ini, di masa yang disebut sebagai pasca-kebenaran, nilai filosofis tidak lagi menjadi acuan utama. Sensasional kata mengalahkan kesungguhan makna. Manusia disilaukan oleh kata-kata yang retorik, yang kehilangan referensinya pada makna sesungguhnya: kebijaksanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H