Tindakan yang paling benar adalah melaporkan kejadian KDRT pada pihak berwajib. Sebab, kita semua punya kewajiban menciptakan lingkungan masyarakat yang nyaman dan aman. Sekaligus undang-undang mengatur hal itu.
Meski pada implementasinya, jarang (baca: tidak) ada orang lain yang melaporkan kejadian KDRT tetangganya kepada pihak kepolisian. Alasan utamanya simpel, gak mau mencampuri kehidupan rumah tangga orang.
Terlepas dari hal tersebut. Tiap pasangan punya caranya tersendiri dalam menciptakan keharmonisan rumah tangganya. Sehingga, kekerasan dalam rumah tangga tak akan pernah terjadi dalam bahtera perkawinannya.
Wedding agreement.
Seluruh rumah tangga di mana pun, tentu membuat wedding agreement-nya masing-masing. Entah berbentuk tulisan pada secarik kertas, berbentuk lisan, hingga perjanjian perkawinan sesuai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam wedding agreement tiap pasangan, punya ketentuan yang berbeda-beda dan dapat diubah serta membarui tiap perjanjian pernikahan tersebut secara kondisional. Tapi bukan menghapus perjanjian yang telah ada, tapi menambahkan perjanjian.
Layaknya seperti perkembangan teknologi, sehingga membutuhkan update dan upgrade. Begitupun dengan wedding agreement.
Terbentuknya wedding agreement dalam sebuah kehidupan rumah tangga, menjadi dasar fondasi rumah tangga yang kokoh. Sebab, tujuannya sangat jelas, memperkokoh komitmen diantara kedua belah pihak. Sehingga kedunya dapat mewujudkan visi keluarga harmonis (dalam Islam, keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah).
Apakah wedding agreement harus berupa perjanjian tertulis? Apakah mesti ada meterai? Apakah wajib mengikuti ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Yang jelas, dapat dimengerti dan dijalankan oleh kedua belak pihak dengan sangat baik.