Kekerasan dalam rumah tangga, bagaimanapun alasannya tidak dapat dibenarkan dalam hubungan perkawinan. Sangat dilarang sebab berakibat pada pelanggaran hukum dan rusaknya kepercayaan mertua terhadap menantu.
Upaya nyata telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan diberlakukannya, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dengan lahirnya ini, diharapkan tidak ada lagi KDRT sehingga hubungan rumah tangga tampak harmonis.
Namun, tak jarang masih ada saja pelaku KDRT (biasanya adalah suami)-manusiawi sih, laki-laki selalu salah di mata perempuan-dalam kehidupan berumah tangga. Apa yang dilakukan oleh korban KDRT?
Diam seribu bahasa.
Ketika telah terjadi KDRT, korban (selalu perempuan)-apakah laki-laki mesti jadi pelaku utama?-tidak akan melakukan tindakan apapun. Meski peraturan perundang-undangan telah menjamin upaya perlindungan tersebut.
Mereka berasumsi, dengan melaporkan kejadian KDRT, rumah tangga mereka akan dicemooh, digosipin tetangga. Hal itu menunjukan bahwa keluarga mereka tidak harmonis, layaknya foto yang dibagikan tiap hari di status whatsapp, feed instagram.
Upaya ini salah dan sangat disayangkan. Saya sangat setuju, respeck, bilamana ada korban KDRT yang melaporkan kekerasan yang terjadi pada dirinya kepada pihak kepolisian.Â
Sebab, ini yang diharapkan oleh negara, memberikan efek jera kepada pelaku KDRT sekaligus pembinaan dan pembelajaran bagi masyarakat luas mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Apa yang kamu lakukan bila melihat dan mendengar adanya KDRT yang terjadi pada tetanggamu?
Diam saja atau malah menyebarkan gosip ke tetangga lainnya? Jika kamu cenderung memilih opsi kedua, kamu tetangga yang tak terpuji. Begitupun bila kamu mengambil langkah yang pertama, diam saja, seolah tak pernah tahu ada KDRT disekitar kamu.