Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Petani Muda, Segudang Harapan dan Masalah Lusuh Pertanian

10 Oktober 2022   14:04 Diperbarui: 11 Oktober 2022   02:00 1912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Petani Muda| Dok Freepik.com/pressfoto via mediatani.co

Yang muda yang berkarya!

Saya sangat sependapat dengan ungkapan tersebut. Seluruh profesi yang ada di dunia ini, menempatkan anak muda, kaum milenial, generasi digital ke dalam barisan agen perubahan, agent of change.

Namun, pernahkan terlintas dipikiran kita semua, adakah anak muda yang turun ke sektor pertanian? Jelas ada. Hanya saja ngak banyak. Bener kan? Kurang antusias dan kurang berambisi atau kasarnya tidak antusias dan tidak berambisi.

Kita dapat belajar secara langsung, melihat fakta di lapangan, bahwasanya sektor pertanian bukanlah tempat yang nyaman dan aman sebagai jalan menuju kesuksesan di masa depan. Tak heran, anak muda tak suka mandi di sungai, menggiring kerbau ke kandang, bermain lumpur di sawah, bahkan memetik hasil kebun sendiri.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya manusia, terlebih dalam sektor pertanian. Ada ratusan ribu mahasiswa lulusan pertanian, akademisi di bidang pertanian, pelajar SMK di jurusan pertanian, hingga praktisi pertanian.

Kita tentu paham betul, potensi pertanian Indonesia sangat besar. Akan tetapi, mewujudkan hal tersebut sangat sulit, terlebih banyak dari mereka yang hanya belajar ilmu pertanian tapi tidak diimplementasikan, tidak diterapkan, dan tidak diaplikasikan dalam kehidupan petani.

Menggeluti dunia pertanian, butuh mental baja biar tidak mental. Usia muda dipaksa berpanas-panasan di tengah sawah, membungkuk membabi buta mencangkul tanah, memeriksa dan mendiagnosis secara jeli dan cermat hama tanaman. Memang besar tantangannya.

Menekuni profesi petani, butuh perjuangan dan pengorbanan besar. Usia belia dituntut menyusun strategi perang dagang, merelakan kongko-kongko dengan teman, memutuskan bergabung dengan kelompok tani, dan menelurkan ide kreatif dan inovatif dalam pertanian. Memang berat bebannya.

Bertani sama dengan berinvestasi.

Kalimat itu menjadi penyemangat bagi saya, bilamana drama pertanian yang sedang dihadapi tidak berpihak kepada saya.

Harga jual hasil panen yang anjlok, pupuk subsidi yang terlambat datang, pupuk non subsidi yang tinggi selangit, hama tanaman yang menyerbu, cuaca yang tak menentu, dan lelah badan yang menua. Semua menjadi asalan untuk batin hilang asa.

Tetapi, saya selalu ingat, bahwa bertani sama dengan ber(investasi). Ada kalanya tertimpa keterpurukan, namun ada waktunya kita berada di puncak kejayaan. Ini berputar dan berjalan tanpa henti, siklus pertanian.

Apabila kaum muda memiliki prinsip yang sama, saya yakin akan banyak petani muda di pelosok negeri. Sehingga, mereka tidak perlu jauh-jauh merantau ke negeri orang (bekerja di sektor industri).

Mengembangkan potensi pertanian untuk menghasilkan produksi pangan yang melimpah, menjadi visi petani muda. Sebab, petani muda mampu mewujudkan itu, cita pertanian.

Berbekal ilmu pertanian yang dimiliki termasuk strategi pertanian, menjadi modal awal bagi petani muda untuk mengembangkan potensi pertanian. Terlebih melek teknologi, menjadi sangat mudah bagi petani muda untuk beradaptasi dengan teknologi pertanian, agar meningkatkan produksi pertanian.

Apakah cukup modal itu saja? Tidak. Modal utama seorang petani adalah memiliki lahan. Entah lahan pertanian atau bukan. Sebab petani muda pasti kreatif dan inovatif.

Sangat beruntung bagi mereka yang memiliki lahan pertanian, sebab langsung bisa mengerjakan tanah garapan. Sedangkan bagi mereka yang tidak punya lahan pertanian, tentu akan berpikir lebih keras dalam mewujudkan cita pertanian. Misalnya menerapkan pertanian sistem hidroponik.

Dalam upaya mewujudkan tujuan mulia petani muda, terutama petani secara umum, tentu berkecimpung dengan masalah lusuh pertanian yang tak kunjung usai. Seperti harga jual hasil panen rendah, pupuk subsidi terbatas, pupuk non subsidi mahal, hama tanaman, dan cuaca yang tak menentu.

Petani sering mengalami harga jual hasil panen yang rendah, kadang anjlok. Mungkin ini permainan pasar, sehingga petani cukup jauh dari kata sejahtera. Seolah-olah ada oknum yang memainkan harga pasar. Seharusnya ada upaya dari pemerintah dan pihak lain guna menciptakan kestabilan harga.

Seperti yang saya alami kemarin, harga jual cabai untuk jenis tw (tewe) seharga 17 ribu per kilo, dan tadi malam (9/10/2022) sudah anjlok ke harga 10 ribu per kilo. Hanya dalam waktu semalam, kurang dari 24 jam, harga anjlok tujuh ribu.

Harga yang anjlok tak sebanding dengan harga pupuk. Sudah sekitar empat bulan, ketersedian pupuk subsidi tidak tersedia. Padahal petani yang tergabung ke poktan (kelompok tani) membutuhkan guna menutrisi tanaman, supaya gak gagal panen. Jika disiasati dengan beli pupuk non subsidi, harganya sangat mahal, sekitar 2-3 kali lipat harga subsidi.

Bila dipaksa beli pupuk non subsidi, keuntungan hasil panen sedikit bahkan jauh dari modal tanam (pengaruh harga pasar). Bila tidak dipupuk, tanaman mengalami penurunan produksi dan mati. Simalakama banget. Mungkinkan ada mafia pupuk?

Faktor lain yang menjadi masalah, hama tanaman. Membasmi gulma mudah, jebol sana jebol sini, beres. Memberantas hama, ulat, wereng, belalang, burung, bahkan tikus ini cukup sulit. Gak mungkin juga kan, menangkap burung satu satu atau menjebak tikus tiap malam?

Bahkan ada julukan untuk hama tikus yang sering menggangu tanaman padi, jagung, dan kacang di daerah saya sendiri, yakni siti (si tikus). Cukup ruwet membasmi siti, meski gak ada cara paling efektif, selain mengandalkan kuasa Tuhan.

Begitupun dengan cuaca. Hanya Tuhan yang punya kendali atasnya. Kita, petani, cukup mampu melihat tanda-tanda perubahan cuaca guna menghindari upaya tanam (tandur) pada kalender yang salah. Meski kita sudah mengantisipasi dengan membuat bendengan yang cukup tinggi, bila hujan turun 3 hari berturut-turut, kecil harapan tanaman bisa selamat.

Memang perlu nyali untuk menjadi petani, apalagi dalam kondisi dan situasi saat ini. Bukan hanya modal dengkul dan cangkul, tapi uang dan strategi perlu diprioritaskan guna meminimalisir terjadinya gagal panen bahkan kerugian.

Segala masalah dalam dunia pertanian, saya dan kita semua berharap, agar dapat dituntaskan dengan kebijakan yang lebih baik dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainya agar benar-benar menciptakan kesejahteraan bagi petani. Biar saya (petani milenial) tidak bosan dengan drama pertanian Pertiwi.

Jangan pernah lelah, wahai engkau para petani Indonesia.

Bayu Samudra

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun