Harga jual hasil panen yang anjlok, pupuk subsidi yang terlambat datang, pupuk non subsidi yang tinggi selangit, hama tanaman yang menyerbu, cuaca yang tak menentu, dan lelah badan yang menua. Semua menjadi asalan untuk batin hilang asa.
Tetapi, saya selalu ingat, bahwa bertani sama dengan ber(investasi). Ada kalanya tertimpa keterpurukan, namun ada waktunya kita berada di puncak kejayaan. Ini berputar dan berjalan tanpa henti, siklus pertanian.
Apabila kaum muda memiliki prinsip yang sama, saya yakin akan banyak petani muda di pelosok negeri. Sehingga, mereka tidak perlu jauh-jauh merantau ke negeri orang (bekerja di sektor industri).
Mengembangkan potensi pertanian untuk menghasilkan produksi pangan yang melimpah, menjadi visi petani muda. Sebab, petani muda mampu mewujudkan itu, cita pertanian.
Berbekal ilmu pertanian yang dimiliki termasuk strategi pertanian, menjadi modal awal bagi petani muda untuk mengembangkan potensi pertanian. Terlebih melek teknologi, menjadi sangat mudah bagi petani muda untuk beradaptasi dengan teknologi pertanian, agar meningkatkan produksi pertanian.
Apakah cukup modal itu saja? Tidak. Modal utama seorang petani adalah memiliki lahan. Entah lahan pertanian atau bukan. Sebab petani muda pasti kreatif dan inovatif.
Sangat beruntung bagi mereka yang memiliki lahan pertanian, sebab langsung bisa mengerjakan tanah garapan. Sedangkan bagi mereka yang tidak punya lahan pertanian, tentu akan berpikir lebih keras dalam mewujudkan cita pertanian. Misalnya menerapkan pertanian sistem hidroponik.
Dalam upaya mewujudkan tujuan mulia petani muda, terutama petani secara umum, tentu berkecimpung dengan masalah lusuh pertanian yang tak kunjung usai. Seperti harga jual hasil panen rendah, pupuk subsidi terbatas, pupuk non subsidi mahal, hama tanaman, dan cuaca yang tak menentu.
Petani sering mengalami harga jual hasil panen yang rendah, kadang anjlok. Mungkin ini permainan pasar, sehingga petani cukup jauh dari kata sejahtera. Seolah-olah ada oknum yang memainkan harga pasar. Seharusnya ada upaya dari pemerintah dan pihak lain guna menciptakan kestabilan harga.
Seperti yang saya alami kemarin, harga jual cabai untuk jenis tw (tewe) seharga 17 ribu per kilo, dan tadi malam (9/10/2022) sudah anjlok ke harga 10 ribu per kilo. Hanya dalam waktu semalam, kurang dari 24 jam, harga anjlok tujuh ribu.
Harga yang anjlok tak sebanding dengan harga pupuk. Sudah sekitar empat bulan, ketersedian pupuk subsidi tidak tersedia. Padahal petani yang tergabung ke poktan (kelompok tani) membutuhkan guna menutrisi tanaman, supaya gak gagal panen. Jika disiasati dengan beli pupuk non subsidi, harganya sangat mahal, sekitar 2-3 kali lipat harga subsidi.