Kedua, kita belajar saling melindungi dan penuh cinta kasih sayang. Tiap manusia tentu harus saling melindungi diantara yang lain. Sebab, pada dasarnya manusia ialah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri. Sekaligus makhluk yang punya perasaan, iba, simpati, dan empati. Maka dari itu, wajar bila manusia memiliki rasa cinta dan benih kasih sayang.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa penemuan korban jiwa bencana alam Semeru yang salin berpelukan, baik ibu dan anak, ibu dan seorang bayinya, anak dan bapaknya. Mereka kehilangan nyawa dengan membawa rasa kasih sayang yang tulus diantara keduanya.
Ketiga, kita belajar tentang rasa hormat dan patuh, terlebih pada orang tua. Sebagai seorang anak, tentu punya peluang hidup lebih besar sebab masih ditopang dengan kekuatan jiwa dan raga, untuk lari sekencang-kencangnya menjauhi paparan lahar dan abu vulkanik. Nyatanya, mereka tidak mau meninggalkan orangtuanya, orang yang membesarkannya, dan orang yang merawatnya.Â
Mungkin, mereka mendedikasikan hidupnya untuk orangtuanya, menghormati dan punya rasa patuh besar untuk tetap berada di samping orangtua mereka meski ajal menjemputnya. Sebab, dengan begitu mereka dapat hidup mulia bersama sang orangtua di surga.
Keempat, kita belajar peduli. Mereka para korban erupsi Semeru yang selamat, sejatinya seseorang yang peduli. Mereka bahu-membahu menyelamatkan sesamanya, tanpa memandang apapun. Tidak ada perbedaan kasta ekonomi. Semua bergandengan berjalan bersama menjauhi dan lari dari kematian yang mengancam.
Sejatinya, hanya empat pembelajaran hidup itu saja yang dapat saya simpulkan dari berbagai cerita fiksi yang sejatinya fakta di lapangan, korban erupsi Semeru.
Jadi, terima kasih kepada para penulis kisah-kisah inspiratif korban erupsi Semeru yang harapannya dapat memantik nilai-nilai moral dalam kehidupan diri kita ke depan.
Bayu Samudra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H