Akan tetapi, manfaat sungai tersebut tak sebanding dengan perlakuan masyarakat yang memiliki perilaku buruk, kurang mengindahkan kepedulian terhadap alam. Masih ada masyarakat yang buang sampah di sungai (sampah domestik bahkan sampah hajat, buang air besar).
Meski tidak ada larangan tertulis peringatan buang sampah di sungai, sebab mungkin karena tidak adanya kepemilikan yang jelas dan hanya diberikan peringatan secara lisan oleh para tuwowo kepada masyarakat. Apalagi komunikasi lisan jauh lebih tersebar luas ketimbang komunikasi non lisan.Â
Sampah yang biasanya dibuang adalah sampah popok bayi. Kebayangkan betapa besarnya popok bayi tersebut bila terendam air dan mengapung di sungai? Cukup membuat tuwowo kewalahan dan petani resah karena sampah popok tersebut masuk ke tanah garapannya dan menyebabkan tersumbatnya aliran air di saluran irigasi. Mau tidak mau, petani dan tuwowo harus membersihkan sampah popok bayi tersebut dan sampah plastik lainnya.
Memang ketika kita buang sampah di sungai, urusan seakan selesai dalam sekejap mata. Tapi itu berdampak jangka panjang, sampah tersebut mencemari aliran sungai, mencemari tanah, bahkan berefek samping pada hasil panen tanaman petani. Sebab zat-zat kimia yang terkandung dalam popok bayi dapat memengaruhi unsur hara tanah.
Terlebih warna bening sungai akan keruh kecoklatan, banyak kuman penyakit yang menyebabkan kutu air. Jadi jangan heran bila kaki seorang petani tidaklah mulus, pasti pecah-pecah, banyak bekas luka cakaran bahkan kena kutu air. Itu semua dikorbankan guna menghasilkan sepiring nasi yang kita makan tiap hari, sepotong tempe setipis kartu ATM yang kita konsumsi tiap pagi, oseng kangkung, jagung bakar yang kita nikmati tiap malam minggu bersama kekasih di alun-alun, bahkan kebahagiaan kecil lainnya di setiap perjalanan kehidupan kita.
Selain masalah sampah, sungai sering terjadi pendangkalan karena terjadinya erosi sepanjang aliran sungai yang membawa butir-butir pasir bahkan lumpur. Maka dari itu, ada seorang lelaki desa yang berinisiatif melakukan pengerukan aliran sungai dengan alat keruk seadanya, sekop.Â
Untung kalau yang disekop adalah pasir bisa dijual ke masyarakat yang membutuhkan guna bangun pagar atau sekadar bikin geladak (lantai kandang sapi). Kalaupun gak ada pasir, ya tetap dikeruk agar aliran sungai kembali lancar, sekaligus memberikan sampah-sampah yang tersangkut di pintu air sungai agar tak masuk ke lahan pertanian warga.Â
Jadi begitulah nikmat yang dihadirkan sang Kuasa kepada kita semua, terutama masyarakat yang menggunakan keberadaan sungai tersebut. Akan tetapi, masih pantaskah kita membuang sampah di sungai?Â
Saya rasa tidak pantas dan tak perlu, karena menjaga aliran sungai tetap jernih dan alami adalah kewajiban kita bersama. Sebab ada begitu banyak orang yang kita sakiti karena perilaku buruk kita yang membuang sampah di sungai. Jauh lebih sakit ketimbang diputusÂ
Bayu Samudra