Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sungai di Desaku, Saluran Irigasi Utama dan Efek Buang Sampah di Sungai

25 Juli 2021   09:18 Diperbarui: 25 Juli 2021   09:24 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai (foto dari katasumbar.com)

Kebetulan tempat tinggal saya dekat dengan sungai, lima puluh meter dibelakang dapur saya, saluran irigasi sawah penduduk, dan lima puluh meter berikutnya ialah aliran sungai besar. Sungai dengan dimensi dalam sekitar 4-6 meter, lebar 5-7 meter, dengan bentang panjang sekitar 5 km (dihitung dari perbatasan desa ujung barat ke ujung timur). Lantas apa kegunaan sungai di desaku dan bagaimana masyarakat sekitar menjaga keberadaan sungai tersebut?

Sebelum orangtua saya lahir, kata nenek dan para sesepuh desa, sungai tersebut sudah sejak lama dibangun, dan diperkirakan dibangun pada masa kolonial. Sebab awalnya, pemukiman yang saya tinggali bukanlah pemukiman seperti sekarang, melainkan ladang tebu yang luas membentang puluhan kilometer persegi. Seiring berjalannya waktu dan masa pemerintahan, mulai terbentuk pemukiman dan persawahan.

Oke, itu sedikit latar belakang keberadaan sungai yang entah dinamakan sungai apa. Sebab kepemilikan sungai tersebut bukan sepenuhnya menjadi aset pemerintah desa domisili saya bahkan desa tetangga. Sungai tersebut tak dimiliki oleh pemerintah desa manapun, meski sudah melintasi berbagai desa mulai dari hulu ke hilir. Keberadaan sungai ini pun dijadikan pemisah secara administratif wilayah pemerintahan desa kediaman saya dan desa sebelah, utara.

Tangkapan layar, lokasi sungai yang digunakan oleh masyarakat kedua desa (dokpri)
Tangkapan layar, lokasi sungai yang digunakan oleh masyarakat kedua desa (dokpri)

Sungguh nikmat yang luas biasa dirasakan oleh masyarakat kedua desa, sebab menopang beratus-ratus petak sawah yang bila dikalkulasi mencapai puluhan hektar lahan persawahan. Jadi, secara tidak langsung masyarakat kedua desa, bermatapencaharian sebagai petani, petani penyewa, buruh tani, dan tuwowo (orang yang mengatur pembagian aliran sungai).

Secara langsung, manfaat keberadaan sungai tersebut digunakan sebagai saluran irigasi sawah. Mengairi seluruh sawah petani guna menghasilkan bahan pokok (beras) dan beberapa palawija seperti cabai, jagung, terong, gambas, mentimun, dan kedelai, serta tembakau. 

Ya namanya saja sawah ya, isinya bisa bervariasi bahkan seragam. Kadang saat musim hujan ya isinya padi semua, kalau kemarau baru beraneka ragam. Eh, kok jadi bahas tanaman di sawah ya? 

Sungai tersebut terbagi menjadi beberapa waktu pengairan, sabtu dan minggu mengairi sawah sebelah selatan sungai, senin hingga rabu mengairi sawah sebelah Utara sungai, dan kamis dan jumat mengairi sawah di ujung perbatasan paling timur. Sebab, pintu pengaliran air sungai berada di sekitar tugu perbatasan desa saya.

Garis biru adalah aliran sungai, begitulah penampakan aliran sungai yang mesti dibagi keberadaannya (tangkapan layar dokumen pribadi via GMaps)
Garis biru adalah aliran sungai, begitulah penampakan aliran sungai yang mesti dibagi keberadaannya (tangkapan layar dokumen pribadi via GMaps)

Karena air merupakan sumber kehidupan, jelas harus terbagi secara merata dan adil. Agar tercipta keseimbangan alam, antara utara dan selatan serta timur sama-sama mendapatkan jatah sumber air.

Akan tetapi, manfaat sungai tersebut tak sebanding dengan perlakuan masyarakat yang memiliki perilaku buruk, kurang mengindahkan kepedulian terhadap alam. Masih ada masyarakat yang buang sampah di sungai (sampah domestik bahkan sampah hajat, buang air besar).

Meski tidak ada larangan tertulis peringatan buang sampah di sungai, sebab mungkin karena tidak adanya kepemilikan yang jelas dan hanya diberikan peringatan secara lisan oleh para tuwowo kepada masyarakat. Apalagi komunikasi lisan jauh lebih tersebar luas ketimbang komunikasi non lisan. 

Sampah yang biasanya dibuang adalah sampah popok bayi. Kebayangkan betapa besarnya popok bayi tersebut bila terendam air dan mengapung di sungai? Cukup membuat tuwowo kewalahan dan petani resah karena sampah popok tersebut masuk ke tanah garapannya dan menyebabkan tersumbatnya aliran air di saluran irigasi. Mau tidak mau, petani dan tuwowo harus membersihkan sampah popok bayi tersebut dan sampah plastik lainnya.

Kotak ungu adalah pemukiman saya tinggal, garis oranye adalah saluran irigasi dari sungai tersebut (tangkapan layar dan editing pribadi)
Kotak ungu adalah pemukiman saya tinggal, garis oranye adalah saluran irigasi dari sungai tersebut (tangkapan layar dan editing pribadi)

Memang ketika kita buang sampah di sungai, urusan seakan selesai dalam sekejap mata. Tapi itu berdampak jangka panjang, sampah tersebut mencemari aliran sungai, mencemari tanah, bahkan berefek samping pada hasil panen tanaman petani. Sebab zat-zat kimia yang terkandung dalam popok bayi dapat memengaruhi unsur hara tanah.

Terlebih warna bening sungai akan keruh kecoklatan, banyak kuman penyakit yang menyebabkan kutu air. Jadi jangan heran bila kaki seorang petani tidaklah mulus, pasti pecah-pecah, banyak bekas luka cakaran bahkan kena kutu air. Itu semua dikorbankan guna menghasilkan sepiring nasi yang kita makan tiap hari, sepotong tempe setipis kartu ATM yang kita konsumsi tiap pagi, oseng kangkung, jagung bakar yang kita nikmati tiap malam minggu bersama kekasih di alun-alun, bahkan kebahagiaan kecil lainnya di setiap perjalanan kehidupan kita.

Selain masalah sampah, sungai sering terjadi pendangkalan karena terjadinya erosi sepanjang aliran sungai yang membawa butir-butir pasir bahkan lumpur. Maka dari itu, ada seorang lelaki desa yang berinisiatif melakukan pengerukan aliran sungai dengan alat keruk seadanya, sekop. 

Untung kalau yang disekop adalah pasir bisa dijual ke masyarakat yang membutuhkan guna bangun pagar atau sekadar bikin geladak (lantai kandang sapi). Kalaupun gak ada pasir, ya tetap dikeruk agar aliran sungai kembali lancar, sekaligus memberikan sampah-sampah yang tersangkut di pintu air sungai agar tak masuk ke lahan pertanian warga. 

Jadi begitulah nikmat yang dihadirkan sang Kuasa kepada kita semua, terutama masyarakat yang menggunakan keberadaan sungai tersebut. Akan tetapi, masih pantaskah kita membuang sampah di sungai? 

Saya rasa tidak pantas dan tak perlu, karena menjaga aliran sungai tetap jernih dan alami adalah kewajiban kita bersama. Sebab ada begitu banyak orang yang kita sakiti karena perilaku buruk kita yang membuang sampah di sungai. Jauh lebih sakit ketimbang diputus 

Bayu Samudra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun