Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wacana Digitalisasi E-KTP dan Ancaman Kebocoran Data Pribadi Tingkat Tinggi

16 Juni 2021   12:02 Diperbarui: 16 Juni 2021   12:07 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wacana Digitalisasi E-KTP dan Ancaman Kebocoran Data Pribadi Tingkat Tinggi (foto dari tekno.kompas.com)

Sambutlah era baru, E-KTP Digital!

Sebuah usul kalimat yang kiranya pantas digunakan sebagai daya tarik bagi masyarakat, agar mengamini langkah Kemendagri melalui Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, tentang digitalisasi e-KTP.

Waduh, proyek besar apa lagi ini?

Digitalisasi e-KTP ialah sebuah kegiatan pemindahan data kependudukan yang telah terekam pada database e-KTP (KTP elektronik fisik) ke dalam bentuk digital.

Jadi, kita tidak perlu lagi membawa-bawa sebuah lempengan plastik berukuran kecil persegi panjang itu kemana-mana. Cukup menunjukkan ponsel atau smartphone yang kita miliki, segala akses data kependudukan dapat diketahui. Dan jelas, kita bisa menikmati berbagai layanan publik yang disediakan pemerintah.

Pikiran cetetnya mungkin begini, ponsel adalah KTP. 

Sebuah transformasi digital yang patut dibanggakan. Bertambah lagi tugas sang ponsel. Sebelumnya, sudah menjadi ATM melalui mobile banking, telah menjadi toko guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan menjadi kantor kita bekerja. Kini mulai beralih menjadi sebuah identitas digital (e-KTP digital).

Salah satu manfaat daripada tujuan digitalisasi e-KTP adalah mengetahui jumlah penduduk non permanen dari suatu wilayah.

Kamu memiliki e-KTP beralamat di Surabaya (Jawa Timur), tapi bekerja dan berdomisili di Bandung (Jawa Barat) selama satu tahun. Artinya, kamu menjadi penduduk non permanen di Bandung. Jadi, Kemendagri melalui Disdukcapil Bandung, mengetahui jumlah penduduk secara de facto dan de jure.

Hal ini dikarenakan, hasil digitalisasi e-KTP dapat disimpan dalam ponsel dan tentunya nomor ponsel sebagai identitas tunggal. Intinya, nomor ponsel si A tentu dimiliki oleh identitas KTP si A. Sehingga, Disdukcapil di Indonesia mampu mengidentifikasi keberadaan penduduk melalui nomor ponselnya bahkan sebaliknya.

Tak hanya itu, saya beropini bahwa digitalisasi e-KTP bakal mempercepat proses pelayanan publik. Sebab semua data kependudukan sudah dapat diakses begitu mudah, melalui platform software bentukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.

Meskipun saat ini dengan adanya e-KTP, memperoleh layanan publik pun sangatlah sulit dan masih ribet. Lalu, apa gunanya huruf e pada e-KTP jika sering dimintai fotokopi atau hasil scan e-KTP saat akan menikmati layanan publik? 

Bukankah hanya dengan mengetikkan nomor identitas kependudukan (NIK) pada laman Kemendagri, sudah dapat mengunduh berbagai macam data kependudukan, baik nama, alamat, golongan darah, tanggal lahir, pekerjaan, hingga agama yang bersangkutan.

Wacana Digitalisasi E-KTP dan Ancaman Kebocoran Data Pribadi Tingkat Tinggi (foto dari surabaya.net)
Wacana Digitalisasi E-KTP dan Ancaman Kebocoran Data Pribadi Tingkat Tinggi (foto dari surabaya.net)

Lantas adakah ancaman dari upaya digitalisasi e-KTP, perihal kebocoran data pribadi?

Pasti ada.

Oleh karena itu, digitalisasi e-KTP harus didukung dengan pengamanan digital yang jauh lebih ketat agar menciptakan keamanan tingkat tinggi. Sebab menyangkut data pribadi 270 juta warga Indonesia yang harus benar-benar dijaga kerahasiaannya oleh negara.

Ini bukan proyek kaleng-kaleng! Pasti menyedot banyak anggaran negara. Membangun suatu database yang super agung dan aman, menyiagakan tim IT profesional sebagai langkah awal pendeteksian dini ada dan tidaknya serangan para hacker, dan usaha pemeliharaan server yang berkelanjutan.

Sebelum terealisasinya wacana e-KTP digital ini, saya harap pemerintah berpikir ulang tentang kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia. Terlebih, masih morat-maritnya data kependudukan masyarakat.

Bagaimana tidak? Ketika ada gelaran pemilu. Jumlah pemilih kadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pelaksanaan SP2020 (Sensus Penduduk 2020) pun hampir sama, ada ketidaksesuaian data kependudukan secara real dan di atas kertas.

Apakah iya, instansi-instansi pemerintah memiliki data kependudukan yang berbeda antara satu instansi dengan instansi lain?

Saya berharap Disdukcapil di Indonesia, meng-update data kependudukan secara rutin bahkan real time. Misalnya data penduduk yang telah meninggal, langsung dikeluarkan dari database kependudukan (penonaktifan NIK) agar tidak selalu muncul dalam data kependudukan yang digunakan oleh instansi pemerintah lainnya. Begitupun dengan kelahiran penduduk baru.

Hal ini ditujukan, agar menciptakan data kependudukan yang akurat, tepat, benar, dan real time. Jadi, Disdukcapil bukan hanya lembaga pemerintah yang menerbitkan dokumen kependudukan semata, melainkan peng-update-an data kependudukan agar mewujudkan satu data Indonesia.

Secara tidak langsung, mengubah mindset dari meng-entri apa hari ini menjadi membenahi apa hari ini?

Sebab sudah banyak masalah akibat data kependudukan yang tidak akurat ini. Salah satunya, penyaluran bantuan, semisal bantuan pemulihan ekonomi karena pandemi yang banyak fiktif (karena penduduk yang meninggal bahkan pindah domisili, masih terdata) bahkan yang sempat viral ialah masalah data ASN yang bodong.

Wacana Digitalisasi E-KTP dan Ancaman Kebocoran Data Pribadi Tingkat Tinggi (foto dari tekno.kompas.com)
Wacana Digitalisasi E-KTP dan Ancaman Kebocoran Data Pribadi Tingkat Tinggi (foto dari tekno.kompas.com)
Kembali lagi kepada topik, ancaman terburuk digitalisasi e-KTP yakni kebocoran data pribadi tingkat tinggi.

Mengapa demikian? Jelas saja, nomor ponsel kita saat ini saja, sudah banyak pesan singkat (SMS), telpon, bahkan chat masuk yang menawarkan jasa pinjaman dana, penawaran obat kuat, promosi penginapan hotel, hingga ajakan berjudi secara online.

Masih yakin, digitalisasi e-KTP bakal aman?

Mengingat masih suburnya transaksi jual beli data pribadi (nomor ponsel, nomor rekening, akun medsos, bahkan alamat surel) di dunia maya gelap gulita.

Dan yang baru-baru ini, BPJS Kesehatan mengalami kebocoran data pengguna layanannya, entah karena dibobol hacker yang sakit hati dengan layanan BPJS Kesehatan bersama para mitra, maupun pura-pura tidak tahu ada lubang kecil yang menganga di saluran pipa data mereka. Entahlah saya tidak membahas hal ini.

Ketika nomor ponsel kita terbebas dari hal-hal tersebut, maka digitalisasi e-KTP mungkin tepat dibicarakan ketika kumpul-kumpul di kedai kopi. Mengingat, banyaknya masalah kependudukan yang mesti dibenahi terlebih dahulu.

Tak hanya masalah itu, payung hukum pun harus tegas mengikat semua orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran atau usaha pembocoran data pribadi. Jangan hanya menggantungkan pada UU ITE, tapi undang-undang yang lain terutama masalah data pribadi.

Kita tentu tak ingin, digitalisasi e-KTP menjadi ladang basah kran kebocoran data pribadi tingkat tinggi yang jauh lebih deras mengalir, hingga tak ada satu pun privasi yang harus ditutupi meski selebar daun kelor. Ini dikarenakan tingginya tingkat kebocoran data pribadi bilamana digitalisasi e-KTP dilakukan dalam waktu dekat, tanpa adanya perbaikan total di sana-sini.

Sumber referensi: Kompas.

Bayu Samudra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun