Tak hanya itu, saya beropini bahwa digitalisasi e-KTP bakal mempercepat proses pelayanan publik. Sebab semua data kependudukan sudah dapat diakses begitu mudah, melalui platform software bentukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.
Meskipun saat ini dengan adanya e-KTP, memperoleh layanan publik pun sangatlah sulit dan masih ribet. Lalu, apa gunanya huruf e pada e-KTP jika sering dimintai fotokopi atau hasil scan e-KTP saat akan menikmati layanan publik?Â
Bukankah hanya dengan mengetikkan nomor identitas kependudukan (NIK) pada laman Kemendagri, sudah dapat mengunduh berbagai macam data kependudukan, baik nama, alamat, golongan darah, tanggal lahir, pekerjaan, hingga agama yang bersangkutan.
Lantas adakah ancaman dari upaya digitalisasi e-KTP, perihal kebocoran data pribadi?
Pasti ada.
Oleh karena itu, digitalisasi e-KTP harus didukung dengan pengamanan digital yang jauh lebih ketat agar menciptakan keamanan tingkat tinggi. Sebab menyangkut data pribadi 270 juta warga Indonesia yang harus benar-benar dijaga kerahasiaannya oleh negara.
Ini bukan proyek kaleng-kaleng! Pasti menyedot banyak anggaran negara. Membangun suatu database yang super agung dan aman, menyiagakan tim IT profesional sebagai langkah awal pendeteksian dini ada dan tidaknya serangan para hacker, dan usaha pemeliharaan server yang berkelanjutan.
Sebelum terealisasinya wacana e-KTP digital ini, saya harap pemerintah berpikir ulang tentang kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia. Terlebih, masih morat-maritnya data kependudukan masyarakat.
Bagaimana tidak? Ketika ada gelaran pemilu. Jumlah pemilih kadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pelaksanaan SP2020 (Sensus Penduduk 2020) pun hampir sama, ada ketidaksesuaian data kependudukan secara real dan di atas kertas.
Apakah iya, instansi-instansi pemerintah memiliki data kependudukan yang berbeda antara satu instansi dengan instansi lain?