Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Alasan Rendahnya Kepemilikan Dokumen Kependudukan pada Masyarakat Pedesaan

7 Juni 2021   10:34 Diperbarui: 8 Juni 2021   17:30 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mencetak Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, dan Akta Kematian secara mandiri. Foto: Audia Natasha Putri/grid.id

Beberapa waktu lalu, BKKBN dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melakukan pendataan ke rumah-rumah penduduk. Perihal pendataan keluarga dan survei SDGs desa. Terus apa kaitannya dengan judul di atas?

Dalam pendataan keluarga yang digelar oleh BKKBN. Ada berbagai macam pertanyaan mengenai kesejahteraan keluarga. Tapi saya gak akan bahas hal itu. Sedangkan, survei SDGs desa lebih mengarah pada kesejahteraan desa, meski indikator penilaiannya kebanyakan mengenai unit rumah tangga atau keluarga.

Lantas apa yang mendasari saya menulis artikel ini? Jika tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan?

Pada borang pengisian pendataan tersebut, baik pendataan keluarga dan survei SDGs desa, sama-sama membutuhkan suatu jenis dokumen kependudukan. Dokumen apakah itu?

Ada KTP, kartu keluarga, KIA, kartu BJPS Kesehatan, kartu BPJS Ketenagakerjaan, sertifikat tanah, dan beberapa dokumen lainnya. Kenapa harus mereka? Sebab dokumen pokok bagi seorang penduduk. 

Pendata tidak dapat mendata seorang penduduk bila tidak memiliki dokumen kependudukan. Sebab membutuhkan nomor identitas kependudukan, yang NIK ini tertera di kartu keluarga bahkan KTP. 

Tenyata, banyak masyarakat pedesaan yang tidak memiliki dokumen kependudukan. Parahnya lagi, KK pun tak punya. Bagaimana bisa menikmati layanan publik, bila kartu identitas saja tidak ada?

Alasan rendahnya kepemilikan dokumen kependudukan pada masyarakat pedesaan (foto dari kobrapostonline.com)
Alasan rendahnya kepemilikan dokumen kependudukan pada masyarakat pedesaan (foto dari kobrapostonline.com)
Kartu keluarga menjadi landasan utama dari terbitnya berbagai dokumen kependudukan, baik KTP, KIA, akta kelahiran, kartu BPJS, bahkan sertifikat tanah. 

Sebab, sebelum seorang warga negara Indonesia memenuhi syarat kepemilikan dokumen kependudukan, maka diwajibkan memiliki kartu keluarga, sebagai identitas tunggal. Selebihnya, bila sudah memenuhi usia minimal maka bisa menggunakan kartu identitas lain sebagian pengenal diri.

Dari rumah ke rumah, masalah kepemilikan dokumen kependudukan pun beragam. Ada yang tidak punya KK, tapi punya KTP. Ada yang punya KK tapi tidak punya KTP, padahal sudah memenuhi syarat pembuatan identitas diri. Ada yang tidak punya sertifikat tanah, tapi sudah ditempati berpuluh-puluh tahun.

Ada yang tidak ter-cover BPJS Kesehatan yang disubsidi pemerintah meski tergolong keluarga kurang mampu. Ada yang tidak punya akta kelahiran, terutama putra-putri yang terlahir mulai awal 2000 hingga hari ini (7 Juni 2021).

Masalah-masalah tersebut, ternyata tidak mendapat perhatian serius dari yang bersangkutan. Artinya warga masyarakat pedesaan menganggap dokumen pendudukan itu penting tidak penting, antara ada dan tiada. Intinya, kalau butuh baru dicari.

Itulah mengapa masyakarat pedesaan kadang tidak mendapat akses terhadap layanan publik yang disediakan pemerintah. Misal akses kesehatan, akses pendidikan, bahkan layanan pemerintahan lainnya. 

Sehingga, masyarakat pedesaan merasa dirinya tidak diperhatikan oleh pemerintah. Terlebih tumbuhnya citra buruk pemerintah (pegawai pemerintah) yang suka mempersulit akses layanan publik.

Salah satu pendataan, pendataan keluarga 2021 oleh kader pendata BKKBN (foto dari nasional.sindonews.com)
Salah satu pendataan, pendataan keluarga 2021 oleh kader pendata BKKBN (foto dari nasional.sindonews.com)

Pemerintah itu gak buruk. Mungkin penggerak roda kepemerintahannya saja yang usang, rusak, dan berkualitas rendah. Sehingga, wadahnya pun terlihat buruk.

Saya punya sebuah botol anyar, baru beli di pasar. Dan saya isi dengan air tanah, lumpur, maka citra botol pun akan berubah dari bagus dan elok, menjadi jelek dan buruk rupa. Tapi, bila saya isi dengan air bersih, maka terlihat bagus, nyaman dipandang. Jadi, sesederhana itu penggambaran pemerintah dan pegawai pemerintah.

Apakah tidak ada usaha dari masyarakat pedesaan untuk mendapatkan atau memiliki dokumen kependudukan?

Ada kok. Hanya saja masyarakat pedesaan tidak mendapat layanan yang sesuai standar operasional atau ketentuan. Sehingga, usaha mereka memiliki dokumen kependudukan tak kunjung mencapai titik terang. Lah kok bisa?

Ingat, seorang warga negara dibantu oleh seorang pegawai pemerintah untuk dapat memiliki dokumen kependudukan. Apabila yang membantu masyarakat itu berkarakter baik, menjalankan tugasnya sesuai SOP, maka layanan publik pun dapat diterima oleh yang bersangkutan dalam waktu singkat. 

Nahas, bagi masyarakat yang berhadapan dengan pegawai pemerintah yang kerja lamban, suka mempersulit, apalagi ada pungutan biaya, bukannya selesai dengan cepat malah lama dan banyak alasan.

Pelayanan salah satu dokumen kependudukan, KTP (foto dari jabarprov.go.id)
Pelayanan salah satu dokumen kependudukan, KTP (foto dari jabarprov.go.id)
Selain keterbatasan pengetahuan masyarakat pedesaan akan prosedur mendapatkan dokumen kependudukan, adanya praktik pungli (pungutan liar) dari layanan publik yang sebenarnya cuma-cuma, membuat masyarakat semakin enggan melengkapi dokumen kependudukannya.

Tidak adanya sosialisasi pegawai pemerintah, anggap saja yang paling dekat ketua RT dan perangkat desa, membuat masyarakat pedesaan semakin jauh dari layanan publik. Jadi, wajar bila masyarakat pedesaan menganggap dokumen kependudukan sebagai barang yang tak berguna.

Kalau pemerintah sendiri ada usaha meningkatkan kepemilikan dokumen kependudukan, tapi semua informasi tersebut hanya berhenti tingkat desa (kantor desa). Apakah tidak ada penyebarluasan informasi?

Ada. Hanya membentangkan spanduk di depan kantor balai desa dan beberapa titik, seperti perempatan jalan. Apakah masyarakat pedesaan buta huruf? Tidak. 

Masyarakat pedesaan zaman sekarang sudah bisa membaca, paham hukum, dan melek teknologi. Akan tetapi, masyarakat masih enggan mengurus kepemilikan dokumen kependudukan. Kenapa?

Masyarakat pedesaan sudah melek teknologi, mahir membaca, dan paham hukum (foto dari gobumdes.id)
Masyarakat pedesaan sudah melek teknologi, mahir membaca, dan paham hukum (foto dari gobumdes.id)
Trauma. Stereotip masyarakat pedesaan masih dibayang-bayangi oleh kelambanan prosedur, masih adanya praktik pungli, main serobot (mendahulukan orang berpangkat daripada rakyat biasa), dan rendahnya sikap melayani.

Padahal kepemilikan dokumen kependudukan sangatlah penting sebagai sarana mengakses layanan publik.

Seorang anak masuk sekolah, butuh akta kelahiran bahkan ada yang menyaratkan KIA. Seseorang mau balik nama sertifikat tanah, maka butuh KTP, mau berobat di puskesmas butuh KTP, mengajukan kredit usaha di bank butuh KK dan KTP, dan kebutuhan lainnya tentu menyaratkan kepemilikan dokumen kependudukan.

Itulah asalan rendahnya kepolisian dokumen kependudukan pada masyarakat pedesaan. Bukan lagi masalah kualitas sdm masyarakat pedesaan, tapi akuntabilitas dan transparansi para penyelenggara pemerintahan yang perlu diperbaiki agar memberikan layanan yang baik kepada masyarakat, baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan.

Jadi, sudahkah kamu memiliki salah satu dokumen kependudukan tersebut?

Bayu Samudra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun