Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Aku Bukanlah Diriku di Media Sosial hingga pada Akhirnya...

8 Mei 2021   15:20 Diperbarui: 10 Mei 2021   05:06 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku bukanlah diriku di media sosial, digital minimalism (foto dari pixabay.com/geralt)

Saya menyadari ada yang salah dengan diriku. Saya terlihat berbeda antara kehidupan nyata dengan kehidupan maya yang nyata. Seakan diriku bermuka dua, bertabiat ganda, berperilaku berbeda, dan hidup dalam dua alam sekaligus. Itu karena media sosial.

Sejak 2009, aku sudah berkenalan dengan salah satu media sosial, biru. Bukan burung. Awalnya sih coba-coba. Sama kayak minum tuwak, awalnya pun iseng-iseng. Terus lama-kelamaan malah kecanduan. Saking asyiknya bermedsos ria, hingga saya melupakan kehidupan nyata. 

Aktivitas kerja jadi semrawut, waktu semakin terasa singkat, dan saya kehilangan gairah hidup secara nyata. Benar, kalau media sosial bikin candu, ketagihan. Seakan tak mau lepas dengan dirinya.

Tak heran, bila kemudian banyak sekali macam-macam medsos yang lahir. Mengingat antusiasme masyarakat menyambut hal itu. Pengen coba ah medsos burung biru, pingin deh lihat medsos ungu, ah ingin coba masuk medsos hijau, dan nah ini baru medsos merah.

Saya bergabung dengan F mulai 2009. Sudah beberapa kali diingatkan hari kelahiran, kenangan masa lalu, hingga postingan zaman edan. 

Memang seru sih, sebuah aplikasi dapat mengingatkan hari spesial kita. Ketimbang si dia yang gak pernah ingat. Kayak diri kita ini diperhatikan sama si F. Penuh cinta gitu.

Beraneka ragam media sosial (foto dari pixabay.com)
Beraneka ragam media sosial (foto dari pixabay.com)
Tak hanya main di satu medsos. Saya juga masuk ke T mulai 2013. Suasana yang disuguhkan berbeda, nuansa kehangatannya pun jauh lebih hangat, dan lebih nyaman digunakan. 

Semakin betah aja gitu. Terlebih ada notifikasi mengenai kebersamaan dengan aplikasi T. Selamat kamu sudah 8 tahun bersama kami. Gitu kira-kira.

Godaan terus datang. Hingga akhirnya, saya putuskan menjelajahi medsos ungu berlogo lensa kamera itu. Jauh lebih menarik dan berwarna. Saya tambah suka dengan medsos.

Followers saya pun naik semakin tinggi. Rasanya tuh senang sekali. Apalagi ditopang dengan adanya siaran langsung. Kita bisa berinteraksi secara live dengan followers kita. Indahnya kebersamaan bersama si I.

Tak cuma itu. Saya pun terjun bebas ke dalam lautan si Y. Tumpah ruah bersama para kreator konten video. Hidup semakin berwarna dan berpelangi. 

Video yang kita unggah dapat like, coment, dan diri kita di subscribe senangnya gak ketulungan. Tombol-tombol itu sakral. Jadi pengen selalu didapat dari para penonton.

Media sosial (foto dari pixabay.com)
Media sosial (foto dari pixabay.com)

Hingga pada akhirnya....

Saya merasa sangat tertekan dengan aktivitas media sosial. Saya harus bersikap sesuai apa yang mereka (followers) inginkan. Saya kehabisan jam santai bersama keluarga, sebab selalu natap layar. Saya pun mengalami kegagalan berpikir, konsentrasi mudah buyar.

Selain itu, saya sering dicaci apabila konten yang saya suguhkan tak memikat hati followers. Saya kehabisan ide, sehingga gak ada satu pun unggahan pada laman akun medsos saya. 

Saya harus membalas (melayani) pertanyaan-pertanyaan yang dikirim followers di akun medsos, baik kolom komentar hingga dm. Kalau gak dibalas, saya takut mereka hilang. Kalau dibalas, saya kewalahan.

Intinya saya hidup seperti ditekan oleh aktivitas para followers. Padahal saya punya kehidupan sendiri yang jauh lebih nyata dan nikmat. Kenapa saya harus menjalani dua kehidupan yang berbeda? Dunia nyata dan dunia digital.

Memang benar, dunia digital menjadi ladang penghasilan. Bahkan jadi penghasilan utama. Tapi apakah iya, saya harus berada dalam titah para followers?

Selama saya bermain media sosial, saya dihantui dengan perasaan untuk selalu terlihat sempurna. Setiap konten yang akan diunggah, harus dibuat sebagus dan sebaik mungkin agar dapat mendulang like, coment, dan share yang besar serta followers yang banyak.

Jadi kayak suatu keharusan, saya menampilkan diri dan kehidupan saya tergambar perfect di mata para followers. Yang hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan nyata saya.

Saya sangat jauh dari kesederhanaan di medsos. Tapi saya sangat dekat dengan kemiskinan di dunia nyata. Jadi, mungkin ini yang dinamakan dunia tipu-tipu.

Hidup tanpa medsos (foto dari qureta.com)
Hidup tanpa medsos (foto dari qureta.com)

Dengan pertimbangan yang berat.

Saya putuskan mengakhiri hidup saya di media sosial. Saya lepaskan semua followers. Saya lepaskan semua kemewahan yang terlihat di media sosial. Dan saya relakan kehilangan rumah dunia maya yang nyata.

Keputusan itu saya ambil baru-baru ini, 28 Juli 2019. Saya tinggalkan kehidupan dunia tipu-tipu. Terlebih setelah dihitung-hitung, banyak kerugiannya daripada keuntungannya.

Salah satu kerugian utama adalah waktu saya habis, demi mereka yang gak jelas identitasnya. Rugi dari segi kesehatan, saya sering natap layar yang kadang buat mata saya kesakitan dan kepanasan. 

Rugi dari segi biaya, harus menyediakan kuota internet dan bayar wifi. Rugi dari segi sosial, saya jarang berinteraksi dengan kehidupan nyata dan saya antara ada dan tiada di lingkungan masyarakat.

Hidup tanpa medsos, emang bisa? Bisalah.

Hidup tanpa medsos (foto dari medium.com)
Hidup tanpa medsos (foto dari medium.com)
Banyak teman-teman menyayangkan keputusan saya yang menutup seluruh akun media sosial. Kata mereka, walaupun kamu gak aktif, paling tidak punya medsos.

Saya memang sudah menghapus akun media sosial saya, baik si F, si I, si T, dan si L. Tapi saya gak menutup akun medsos Y dan Kompasiana. Kalau akun WA dan Telegram itu kebutuhan, hehehe.

Hidup tanpa medsos sangat nyaman. Jadwal aktivitas harian jadi lebih teratur, sebab waktu yang diperlukan mengurus beberapa akun medsos jadi lebih sedikit. Selain itu, hemat biaya kuota, interaksi dengan tetangga terjalin lebih erat, tubuh jauh lebih sehat dan bugar sebab gak perlu begadang membalas satu-satu komentar followers, dan hubungan dengan keluarga jadi lebih harmonis.

Hidup tanpa medsos, serasa hidup tanpa tekanan. Gak ada orang yang ngatur diri kita untuk berbuat ini itu. Hidup lebih bermakna dan dapat membantu orang-orang di sekitar. Lebih nyata bermanfaat.

Intinya saya bukan menolak kehadiran medsos, bukan berarti saya tidak menggunakan medsos, tapi saya berusaha mengurangi aktivitas bermedia sosial. Saya sudah membuktikan, hidup tanpa medsos jauh lebih bermanfaat dan bermakna.

Saya hanya aktif di Kompasiana dan Youtube yang hidup dalam kesederhanaan, sebab hanya ingin berbagi pengalaman dan semoga bermanfaat bagi banyak orang.

Bayu Samudra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun