Mengapa saya masih mengejar kegagalan tersebut? Mengapa saya masih mau-maunya daftar sekolah kedinasan, meski ujungnya gagal?
Alasan saya sangat sederhana, yaitu saya tidak mau menyerah. Mungkin kemampuan saya di bawah rata-rata, tapi semangat pantang mundur, pantang menyerah, berkobar begitu panas. Akhirnya daftar terus.
Banyak teman SMA saya yang mengatakan hal itu buang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Kalau udah ditolak sekali, sudah jangan masuk di tempat yang sama.Â
Tapi, saya bukanlah dia yang punya pemikiran begitu. Saya sudah pertimbangan, jika saya mengganti pilihan sekolah kedinasan di tahun kedua, otomatis, kegiatan belajar selama satu tahun sirna begitu saja, karena jelas beda teori memecahkan soal seleksi.Â
Apalagi beragamnya persyaratan yang berbeda tiap sekolah kedinasan, bikin tambah ruwet. Akhirnya, tetap pilih sekolah kedinasan yang sama hingga tiga kali, meski selalu gagal.
Intinya, jangan sekali-kali menyerah pada keadaan dan kenyataan. Terus perjuangkan hingga kita tidak dapat memperjuangkan secara mutlak, entah akibat ketentuan yang menjegal langkah kita.
Apakah kita wajib membanting setir bila menemui kebuntuan tujuan (baca: kesuksesan)?
Saya dengan lantang mengatakan, iya. Banting setir itu perlu agar mencapai kesuksesan.
Impian berkuliah di kampus ternama harus pupus akibat sering ditolak. Mungkin nggak tau diri, nilai akademik ada angka tujuh, kepedean mendaftar di PTN terkenal. Jelas, ditolak mentah-mentah.
Harapan memiliki masa depan lebih cerah dengan berkuliah di sekolah kedinasan. Juga hancur berantakan akibat syarat mendaftar yang tak lagi terpenuhi karena melampaui batas usia mendaftar.Â