Saya turunkan standar perguruan tinggi yang saya ambil dan hanya memilih PTN yang dekat dengan domisili saya, Malang (kalau ini yang nama Kodam)Â dan Jember .
Tiba pengumuman hasil tes SBMPTN, langsung tak suwek-suwek seng jenenge kertas tanda bukti pendaftaran kae. Gagal untuk kedua kalinya.Â
Keluarga menguatkan, begitu pun teman SMA. Hanya satu orang yang lolos pada SBMPTN di SMA saya dari tiga puluh siswa.Â
Teman saya yang juga satu kelas, memang cerdas di fisika dan kimia. Dia lolos masuk ke PTN ternama teknologi di Surabaya.
Mirisnya, jadwal ujian pas pagi hari. Sesi kedua, jam sembilan kudu stand by di lokasi. Akhirnya, dari Lumajang berangkat jam 4 pagi, belum ada tol, sehingga terjebak macet.
Tiba di terminal Bungurasih, cepat-cepat cari ojek menuju lokasi tes. Â Bahkan sampai di lokasi ujian masih telat meski naik ojek dan masuk diantrian paling akhir.Â
Saya tanya pendaftar lain, dia menyatakan ini pengecekan berkas bagi sesi kedua. Matilah aku dan langsung grasa-grusu mengeluarkan lembar kartu ujian dan identitas kependudukan. Masih ngos-ngosan, tak sempat duduk berleha-leha, toleh kanan toleh kiri.
Persaingan ketat, ada delapan ribu pendaftar dan hanya tujuh ribu pendaftar yang maju tahap tes SKD.Â
Saya pun gagal mencapai batas minimum, hanya kurang satu soal agar poin saya ada di zona aman. Ini Kegagalan ketiga kalinya.
Saya pulang dengan kekecewaan dan penyalahan diri sendiri. Kecewa akan berbagai macam kegagalan. Menyalahkan diri sendiri akibat terlalu pede berhasil lolos masuk PTN dan sekolah kedinasan.Â