Waktu itu, seperempat permainan semester awal kelas tiga SMA. Kelas saya, XII MIPA 2, mengalami musibah, bukan karena sedang rekreasi kemudian terjadi laka lantas. Namun disebabkan oleh anggota kelas saya, sekaligus teman saya, yang tersandung kasus hamil pranikah. Dia perempuan. Lelakinya di jalanan. Tidak sekolah. Bekerja serabutan. Malangnya seumuran.
Mirna sempat menyelesaikan ujian tengah semester dan masuk sekitar dua minggu penuh, tapi dalam keadaan kurang sehat. Berjalannya pun tidak seperti biasanya.
Tingkah lakunya juga mulai berubah, lebih senang menyendiri di dalam kelas dan tidak bercengkrama dengan teman-temannya. Saya dan beberapa siswa lain, sempat mengkhawatirkan diri Mirna dengan menanyai langsung, namun dijawab baik-baik saja.
Hingga pada suatu hari, saya dan sebagian siswa kaget dengan pemberitaan yang menyangkut Mirna, bahwasanya Mirna telah melakukan perbuatan asusila sehingga dirinya hamil pranikah.
Di hari itu juga Mirna tak pernah muncul di sekolah. Hilang dari peredaran. Menepi dari keramaian. Mengasingkan diri di gubuk penderitaan.
Masalah ini menjadi trending topic selama satu pekan. Semua orang, warga sekolah, tak terkecuali pendidik, membicarakan perilaku Mirna. Semua orang menyalahkan perbuatan Mirna, yang gagal menjaga kehormatan dirinya.
Anehnya, ada teman sekelas saya yang sangat vokal membicarakan masalah Mirna hingga berminggu-minggu. Setiap hari, pada jam istirahat sekolah, selalu membahas hal tersebut. Tak henti-hentinya dia menjelek-jelekkan Mirna bahkan keluarga besar Mirna. Sempat ia berkata, lek aku dadi Mirna, mending bunuh diri.
Kira-kira begitulah cerita sesingkat-singkatnya. Ayo kita lanjutkan.
Pada pertengahan 2018, tepat satu tahun setelah pesta kelulusan. Saya dan beberapa alumni mendengar kabar mengenai Rani, seseorang yang sangat pede membicarakan masalah Mirna waktu SMA dulu, juga tersandung dengan kasus yang sama. Hamil pranikah.
Berita ini cukup menghebohkan para alumni kenyataannya dia berpaling dari perkataannya. Dia sungkan mati, takut dosa. Mending memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan. Sama seperti keputusan Mirna saat itu, tetap melanjutkan kehidupan selayaknya manusia tanpa dosa.
Dari sepenggal kisah nyata tersebut. Kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya, karma itu memang ada dan benar-benar ada. Tidak mengada-ada dan bukan fiktif belaka. Nyata terjadi.