Sama halnya dengan pulsa. Kita beli pulsa di lapak teman, di warung makan, di toko depan gang, di mana saja sudah. Asal bukan beli pulsa di pelukis. Kalau beli lukisan ya di pelukis.
Kita beli pulsa Rp10000, lalu kita diminta bayar Rp12000. Benar? Pasti benar. Tidak usah mengelak. Kalau ada yang lebih mahal, bilang. Kalau ada yang lebih murah, jangan bilang-bilang. Haha. Ini permainan dagang.
Bila kita beli di warung, Rp2000 tersebut masuk ke kantong distributor pulsa dan penjual pulsa di warung itu. Bila kita beli pulsa di aplikasi, seperti yang saya lakukan itu. Rp100 masuk ke kantong aplikasi tersebut. Jadi, pajak pulsa bukan suatu ancaman apalagi menguras habis keuangan bulanan kita. Toh, pajak pertambahan nilai besarannya sama, yakni 10%. Gak ada suatu alasan yang memberatkan berlakunya kebijakan tersebut.
Mungkin kita baperan? Sebab, bila ngomongin pajak, pikirannya selalu tentang kalkulasi kenaikan harga. Bukan begitu.
Persoalan pajak pulsa ini tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi bertindak bodoh. Gelar deklarasi penolakan kebijakan pajak pulsa. Lebih-lebih melakukan demonstrasi serentak seluruh Indonesia. Sekali lagi, tidak perlu begitu.
Perlu diketahui, kita ini adalah warga negara. Warga daripada suatu negara dalam pemerintahan yang berdaulat. Kita tunduk kepada peraturan perundang-undangan. Salah satunya, undang-undang perpajakan.
Membayar pajak adalah salah satu kewajiban setiap warga negara Indonesia.
Artinya, semua benda atau barang yang dikenai pajak (tidak tercantum dalam aturan perpajakan baik PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disebut negative list) menjadi kewajiban warga negara Indonesia membayar besaran nilai pajaknya. Dengan catatan, bila bertransaksi dengan barang yang memiliki beban pajak.
Jadi, sudah beli pulsa yang dikenai pajak hari ini?
Sekadar info, pengenaan pajak pertambahan nilai atas pulsa, kartu perdana, voucer, dan token listrik berlaku sejak hari ini (1 Februari 2021).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!