Bagi orang awam, pajak pulsa adalah hal baru. Baru dengar. Baru tahu. Baru ngeh. Baru sadar. Baru ingat. Bagi kita orang berilmu, pajak pulsa adalah hal biasa. Sebab, kita sudah dengar pengenaan pajak pulsa sejak lama. Kita sudah tahu aturan itu sejak dulu. Kita sudah ngeh dan yakin atas pembelian pulsa selama ini telah dipungut pajak. Kita sudah sadar, bahwa pulsa, token listrik, kartu perdana, dan voucer adalah barang kena pajak. Kita sudah ingat, saat beli pulsa atau voucer harga bayar sudah dikenai PPN. Jadi, apa masalahnya?
Pajak adalah iuran wajib yang dibebankan kepada setiap individu bila mana yang bersangkutan dikenai beban pajak, baik pajak penghasilan hingga pajak pertambahan nilai.
Kenapa dalam pengertian pajak di atas, saya sematkan kata "hingga", karena pajak itu banyak macamnya. Variatif. Beranekaragam. Ada pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak hadiah, pajak pembelian barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak hiburan, pajak penggalian bahan tambang, pajak pertambahan nilai, pajak minuman beralkohol, pajak tembakau, dan pajak lainnya yang berseliweran setiap hari.
Lah mengapa, kita risau atas pemberitaan pajak pulsa? Bukannya kita sudah terbiasa hidup dengan pajak? Apa kita sudah lupa? Baiklah, saya maklumi. Sebab semakin bertambah usia, tingkat penguatan ingatan mulai menurun.
Pajak pulsa yang tengah viral saat ini, karena minimnya informasi dan mungkin permainan gejolak publik. Masyarakat menentang kebijakan. Politisi bermain rangkul-rangkulan. Ingin dapat jatah suara pada pemilu mendatang. Cerdik.
Namun tulisan ini, tidak bakal memojokkan pemerintah bahkan penggiring opini publik. Toh saya tidak sedang membahas mereka.
Perlu kita sadari, setiap kali belanja di toko swalayan. Ambil contoh, toko merah kuning biru. Saat kita beli, biskuit. Pada struk belanja terdapat pajak pertambahan nilai atau PPN yang telah kita lunasi. Kita sudah bayar pajak, pajak pertambahan nilai.Â
Anggap harga biskuit sebelum dikenai pajak adalah Rp8500. Kita bayar di kasir sebesar Rp9350 dan harga biskuit pada katalog rak barang memang tertulis angka 9350. Artinya, harga biskuit sudah dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen). Kok hanya 10%, kenapa gak 25%? Sudah ketentuan perundangan-undangan, bahwa besaran nilai PPN adalah 10%. Entah kamu beli di Jakarta atau di Jayapura, nilai PPN adalah 10%.
Itu contoh bila kamu beli biskuit di toko swalayan. Kamu langsung dikenai PPN 10% setiap beli barang di sana. Lain hal, bila kamu beli barang yang sama (biskuit) di warung atau toko depan gang. Harga biskuit tetap pada angka Rp8500. Kok gak ada PPN? Itulah kelebihan warung atau toko depan gang. Haha. Hal ini dikarenakan, biaya pajak pertambahan nilai biskuit atau barang yang dijual di warung atau toko depan gang telah dibayarkan oleh perusahaan daripada produk tersebut. Makanya, biskuit di warung sudah dibayar PPN oleh pabrik biskuit. Kalau belanja biskuit di toko swalayan, pembeli yang bayar PPN.
Iki critane kok totok dek biskuit barang se? Dudu bahas pajek pulsa.
Sama halnya dengan pulsa. Kita beli pulsa di lapak teman, di warung makan, di toko depan gang, di mana saja sudah. Asal bukan beli pulsa di pelukis. Kalau beli lukisan ya di pelukis.
Kita beli pulsa Rp10000, lalu kita diminta bayar Rp12000. Benar? Pasti benar. Tidak usah mengelak. Kalau ada yang lebih mahal, bilang. Kalau ada yang lebih murah, jangan bilang-bilang. Haha. Ini permainan dagang.
Bila kita beli di warung, Rp2000 tersebut masuk ke kantong distributor pulsa dan penjual pulsa di warung itu. Bila kita beli pulsa di aplikasi, seperti yang saya lakukan itu. Rp100 masuk ke kantong aplikasi tersebut. Jadi, pajak pulsa bukan suatu ancaman apalagi menguras habis keuangan bulanan kita. Toh, pajak pertambahan nilai besarannya sama, yakni 10%. Gak ada suatu alasan yang memberatkan berlakunya kebijakan tersebut.
Mungkin kita baperan? Sebab, bila ngomongin pajak, pikirannya selalu tentang kalkulasi kenaikan harga. Bukan begitu.
Persoalan pajak pulsa ini tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi bertindak bodoh. Gelar deklarasi penolakan kebijakan pajak pulsa. Lebih-lebih melakukan demonstrasi serentak seluruh Indonesia. Sekali lagi, tidak perlu begitu.
Perlu diketahui, kita ini adalah warga negara. Warga daripada suatu negara dalam pemerintahan yang berdaulat. Kita tunduk kepada peraturan perundang-undangan. Salah satunya, undang-undang perpajakan.
Membayar pajak adalah salah satu kewajiban setiap warga negara Indonesia.
Artinya, semua benda atau barang yang dikenai pajak (tidak tercantum dalam aturan perpajakan baik PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disebut negative list) menjadi kewajiban warga negara Indonesia membayar besaran nilai pajaknya. Dengan catatan, bila bertransaksi dengan barang yang memiliki beban pajak.
Jadi, sudah beli pulsa yang dikenai pajak hari ini?
Sekadar info, pengenaan pajak pertambahan nilai atas pulsa, kartu perdana, voucer, dan token listrik berlaku sejak hari ini (1 Februari 2021).
Bayu Samudra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H