Demo menolak Omnibus Law atau UU Cipta Kerja kemarin, sangat terorganisir dan seakan ada yang mengarahkan. Hal ini dibuktikan dengan serentaknya aksi demonstrasi di berbagai kota besar Indonesia. Surabaya, Makassar, Semarang, Lumajang, dan kota lainnya.
Pada tulisan ini, saya tidak mau membahas masalah UU Cipta Kerja maupun tuntutan para demonstran pada 8 Oktober 2020 yang digelar bebarengan. Saya akan menyorot soal status mahasiswa dan para demonstran. Status yang saya maksud bukan asal daerah, budaya, agama, maupun tebal tipisnya isi dompet mereka. Apalagi almamater yang mereka kenakan.
Adakah yang mampu menebak mengenai status yang akan saya utarakan? Saya yakin betul, setelah kalian sampai pada paragraf ini pasti paham.
Status yang saya maksud adalah bidang studi para mahasiswa maupun profesi para buruh sebagai subjek yang diperjuangkan hak-haknya oleh para mahasiswa. Sebab, pada aksi demo kemarin di Lumajang salah satu tuntutannya ialah penyejahteraan PSK (pekerja seks komerial) atau memberi ruang bagi PSK bekerja di Lumajang.
Itulah sebagian pemikiran para mahasiswa yang kemarin mengutarakan argumennya untuk menolak kelahiran Omnibus Law. Entah tuntutan itu keliru atau memang sangat diperlukan, namun waktunya tidak pas bahkan tak pernah pas di hati masyarakat.
Sontak para satpol pp dan aparat keamanan di sekitar lokasi aksi demo di Lumajang cukup keheranan atas alasan penolakan tersebut. Pernyataan yang seharusnya tak perlu dinyatakan itu, disuarakan oleh seorang perempuan yang berada diatas kendaraan pick up dengan didampingi dua mahasiswa laki-laki.
Saya beranggapan bahwa, para koordinator atau ketua aksi demo tersebut tak paham akan isi UU Cipta Kerja yang diketok palu oleh DPR dan Pemerintah. Pasalnya mereka tak benar-benar menelisik kelemahan regulasi itu, karena penolakan mereka kurang fokus dan hanya numpang tenar di situasi mencekam ini.
Maka dari itu, saya menyarankan kepada para mahasiswa di Indonesia bila mana ingin demo pahami dulu objek masalahnya. Pikirkan matang-matang kelemahan yang ada dan pastikan penolakan terhadap regulasi tersebut singkron atau sesuai. Jangan mengada-ada bahkan menyimpang jauh dari titik fokusnya.
Hemat saya, mahasiswa pada fakultas ekonomi dan hukum lebih layak beraksi dalam aksi penolakan atau aksi demonstrasi Omnibus Law. Mengapa? Mereka pasti paham segala macam hukum dan mampu memprediksi kehidupan ekonomi di masa depan. Apalagi, mereka sudah mengantongi berbagai macam ilmu hukum dan ekonomi untuk diterapkan pada masyarakat. Toh, mereka adalah dokter spesialis atas problematika tersebut. Mahasiswa dari fakultas hukum dan mahasiswa dari fakultas ekonomi.
Bagaimana bila bukan berasal dari fakultas hukum maupun fakultas ekonomi?
Jangan tanya apa motivasinya turun ke jalan. Apalagi, salah satu point penting tuntutannya. Saya jamin, mereka hanya ikut-ikutan atau hanya memupuk rasa solidaritas antar kawan. Dia ikut, saya pun ikut. Seperti kejadian di Lumajang kemarin, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas.
Jadi, mahasiswa dari fakultas kedokteran tak perlu turut meramaikan aksi demo. Gak nyambung. Bukan karena tidak ada kabelnya. Bidang kajiannya berbeda. Jangan tanya mahasiswa dari fakultas pertanian, pasti tak sudi turun ke jalan. Subjek yang mereka bela atau perjuangkan ada di sawah dan ladang. Apalagi para mahasiswa FKIP (fakultas keguruan dan ilmu pendidikan), tentu tak pernah mau ikut dalam aksi demonstrasi.
Ada pepatah, bersatu kita teguh bercerai kita
kawin lagiruntuh. Gabungan para mahasiswa dari berbagai fakultas dalam menyuarakan suatu kebijakan yang dinilai kurang memperhatikan jangka panjang para subjek kebijakan akan memberikan hasil yang jauh lebih menjanjikan. Artinya tuntutan akan dikabulkan. Namun, tak selalu aksi demo yang melibatkan banyak demonstran memberikan ruang dan peluang bagi eksekutif maupun legislatif mengabulkan tuntutannya. Mending, gabungan dari fakultas yang sama dari berbagai perguruan tinggi. Satu suara, satu tuntutan, dan satu tujuan.
Begitupun bagi para pekerja. Para petani demo kala hak-hak pertaniannya dilanggar oleh pemerintah. Para buruh pabrik sangat boleh demo, saat sekarang ini. Sangat klop, sebab menyangkut masa kerja dan kehidupan mereka. Pantas bila kemarin ikut demonstrasi. Para nelayan demo bila harga ikan, perahu, solar di pesisir dipermainkan pemerintah.
Sampai sini paham ya? Saya mulai kehilangan kendali. Selalu teringat ucapan salah satu mahasiswa yang berorasi di Lumajang kemarin. Gagal fokus.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI