Aturan hukum adalah ketentuan tertulis yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang dan mengatur perilaku individu serta masyarakat dalam suatu sistem hukum. Berikut aturan hukum dalam kasus jual beli online:
- Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (1). Mengatur larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan sanksi pidana.
- Pasal 378 Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengatur tentang penipuan secara konvensional, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Meskipun Pasal 378 KUHP tidak secara langsung mencakup penipuan online, namun perbuatan penipuan online dapat dihukum berdasarkan Pasal 378 jika unsur-unsurnya terpenuhi.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan, kepercayaan, dan kenyamanan dalam melakukan transaksi elektronik, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan sistem elektronik.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Aturan ini mengatur beberapa hal diantaranya mengatur peran dalam transaksi PMSE, menjelaskan bahwa pelaku usaha harus menyediakan kontrak digital yang berisi detail produk dan pembayaran.
Analisis Pandangan Aliran Positivisme Hukum Terkait Kasus Penipuan Jual Beli Online
Pandangan positivisme hukum terkait kasus penipuan jual beli online menekankan pada penerapan hukum yang ada tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika. Dalam konteks penipuan jual beli online, positivisme hukum memandang bahwa hukum harus ditegakkan untuk melindungi kepentingan konsumen dan mencegah penipuan. Hukum harus melindungi keamanan konsumen dari penipuan jual beli online. Konsumen memiliki hak untuk memperoleh barang atau jasa yang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh dirugikan oleh penipuan. Dan hukum harus memberikan kepastian hukum bagi konsumen dan pelaku usaha. Dengan demikian, konsumen dapat mempercayai pelaku usaha dan pelaku usaha dapat mempercayai konsumen. Maka dalam hal ini, hukum harus memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku penipuan untuk mencegah terjadinya penipuan lainnya.
Namun, pandangan positivisme hukum juga mendapat kritik karena dianggap terlalu fokus pada aspek hukum dan tidak memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Kritik lainnya adalah bahwa pandangan positivisme hukum tidak memperhatikan kemampuan pelaku usaha untuk mematuhi hukum dan tidak memperhatikan kemampuan konsumen untuk memahami hukum. Dengan demikian, pandangan positivisme hukum terhadap penipuan jual beli online memandang bahwa hukum harus ditegakkan untuk melindungi kepentingan konsumen dan mencegah penipuan.
Analisis Pandangan Aliran Sociological Jurisprudence Terkait Kasus Penipuan Jual Beli Online
Pandangan Sociological Jurisprudence terkait kasus penipuan jual beli online menekankan pentingnya memahami hukum dalam konteks sosial, budaya, dan ekonomi di mana hukum tersebut diterapkan. Sociological Jurisprudence berargumen bahwa hukum adalah hasil dari norma dan nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dalam konteks penipuan jual beli online, fenomena ini mencerminkan perubahan perilaku sosial akibat kemajuan teknologi dan penggunaan internet. Penipuan online sering kali muncul karena adanya kesenjangan antara perkembangan teknologi dan pemahaman hukum di masyarakat. Penipuan dalam jual beli online tidak hanya merugikan individu yang menjadi korban, tetapi juga dapat berdampak negatif pada kepercayaan publik terhadap transaksi elektronik secara keseluruhan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan partisipasi masyarakat dalam ekonomi digital dan menciptakan ketidakpastian di pasar.Â
Dari perspektif sociological jurisprudence, penegakan hukum terhadap penipuan jual beli online harus mempertimbangkan konteks sosial dan upaya pencegahan yang lebih luas, termasuk edukasi masyarakat, keterlibatan Stakeholder, dan penyesuaian hukum. Dengan demikian, pandangan sociological jurisprudence terhadap penipuan jual beli online memandang bahwa hukum harus memperhatikan faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan konsumen. Oleh karena itu, hukum harus memberikan sanksi yang tidak hanya berfokus pada pelaku penipuan, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan konsumen.Â
#uinsaidsurakarta2024 #muhammadjulijanto #prodihesfasyauinsaidsurakarta2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H