Apa bedanya kita selaku masyarakat biasa dengan para koruptor? Tentu saja yang paling mencolok adalah perbedaan status. Koruptor adalah orang-orang yang memiliki jabatan, contohnya di lembaga negara, yang melakukan tindak pidana korupsi seperti menggelapkan uang negara, memberikan suap, jual beli jabatan, pemerasan, dan masih banyak lagi yang intinya melakukan penyalahgunaan jabatan untuk keutungan pribadi.
Sementara itu, masyarakat adalah sekumpulan manusia tanpa status dan jabatan kenegaraan yang mencari penghidupan dari berbagai mata pencarian. Dimulai dari pekerjaan yang membutuhkan fisik prima, seperti kuli bangunan dan  pemadam kebakaran, hingga pekerjaan yang menuntut kecerdasan, seperti pengajar, pekerja kreatif, dan karyawan kantoran.
Dalam perbedaan yang begitu masif, saya melihat secercah persamaan antara masyarakat dengan para pejabat yang kerap pura-pura dilupakan oleh kita semua yang suka memaki-maki tentang betapa kejinya koruptor dalam merampas uang negara. Apa persamaan itu? Sebelum saya sebutkan, izinkan saya untuk menceritakan kisah dari berita yang terjadi belum lama ini.
Berita pertama terjadi pada Senin, 12 Agustus 2024. Dilansir dari detik.com, truk tangki pengangkut 7,2 ton minyak goreng terguling di Jalan Raya Desa Canggu, Jetis, Mojokerto. Sopir truk tangki Bibit Purwanto (50) mengatakan kalau dirinya dalam perjalanan dari Gresik menuju Madiun untuk mengirim minyak goreng curah.
Sampai di Dusun Pelabuhan, Desa Canggu sekitar pukul 15.00 WIB, truk tangki yang ia kemudikan bersinggungan dengan truk dump yang datang dari arah berlawanan. Seketika truk tangki sarat muatan minyak goreng ini terguling. Bodi truk melintang menutup separuh jalan.Â
Kecelakaan ini menyebabkan Bibit menderita luka lecet di kepala dan tangan. Minyak goreng curah tumpah dari truk tangki ke jalan dan halaman beberapa rumah warga.Â
Sontak saja warga sekitar berdatangan mengais minyak goreng tersebut, alih-alih memprioritaskan keselamatan sang sopir dan pengguna jalan. Mereka menggunakan wadah seadanya untuk membawa pulang minyak goreng dari lokasi kecelakaan. Adegan yang mengingatkan kita pada semut-semut yang bermuculan bila terdapat gula di sekitarnya.
Bibit, sang sopi truk, terlihat hanya bisa menghela nafas pasrah sambil menahan sakit di kepalanya sewaktu melihat minyak yang diangkutnya sudah raib dibawa warga sekitar ke rumahnya masing-masing.
Berita kedua, masih dari detik.com. Truk muatan buah jeruk terguling di jurang Jalan Lintas Jambi-Muara Bulian, Desa Lopak Aur, Pemayung, Kabupaten Batanghari, Jambi. Akibatnya, sopir mengalami patah kaki, sementara warga berbondong-bondong mengambil muatan jeruk. Kejadian ini terjadi pada 17 Maret 2024.
Dalam peristiwa nahas tersebut, tampak ada puluhan warga memilah muatan jeruk dan memasukkannya ke dalam kantong kresek masing-masing. Sementara, kondisi truk tampak ringsek dan terbaring di dalam jurang.
Dari kedua berita di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat kita begitu bernafsu untuk mengambil keutungan pribadi di atas penderitaan orang lain. Kita tidak begitu memedulikan nasib para sopir truk itu yang mengerang kesakitan sambil meratapi pepatah "sudah jatuh, tertimpa tangga".
Begitulah persamaan masyarakat kita dengan para pejabat. Kita sama-sama mengambil hak orang lain bila terdapat kesempatan di depan mata. Kita berpikir, bahwa jika bukan kita yang mengambil kesempatan itu, maka akan ada orang lain yang mendahului.
Dua kejadian di atas juga mengingatkan saya pada penjelasan Sosiolog Drajat Tri Kartono tentang Oportunistic Behavior masyarakat Indonesia yang sempat dimuat Kompas.com dua tahun silam. Ia mengatakan bahwa sikap oportunistic behavior merupakan cerminan dari perilaku masyarakat dalam skala besar, baik itu kelas atas, kelas menengah, ataupun kelas bawah yang cenderung untuk lebih mengutamakan kesempatan yang ada untuk memaksimalkan keuntungan pribadi daripada sifat empati, sifat ikut merasakan penderitaan orang lain, dan menolong orang lain.
Ah, sepertinya dugaan saya selama ini benar. Selama ini kita marah-marah, mengutuki, dan memaki para koruptor yang mencuri uang negara, bukan karena merasa dikhianati sehubungan dengan uang pajak kita dicuri, bukan karena kita cinta negara sehingga menuntut pejabat untuk adil dan jujur. Tapi, karena kita merasa iri sekaligus dengki dengan kenyataan bukan kita yang berada di posisi mereka dan menikmati uang dengan jumlah besar.
Lantas, Apa bedanya kita dengan para koruptor? Benar, kita hanya tidak memiliki kesempatan yang sama seperti mereka untuk menikmati segunung harta curian itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H