Dalam peristiwa nahas tersebut, tampak ada puluhan warga memilah muatan jeruk dan memasukkannya ke dalam kantong kresek masing-masing. Sementara, kondisi truk tampak ringsek dan terbaring di dalam jurang.
Dari kedua berita di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat kita begitu bernafsu untuk mengambil keutungan pribadi di atas penderitaan orang lain. Kita tidak begitu memedulikan nasib para sopir truk itu yang mengerang kesakitan sambil meratapi pepatah "sudah jatuh, tertimpa tangga".
Begitulah persamaan masyarakat kita dengan para pejabat. Kita sama-sama mengambil hak orang lain bila terdapat kesempatan di depan mata. Kita berpikir, bahwa jika bukan kita yang mengambil kesempatan itu, maka akan ada orang lain yang mendahului.
Dua kejadian di atas juga mengingatkan saya pada penjelasan Sosiolog Drajat Tri Kartono tentang Oportunistic Behavior masyarakat Indonesia yang sempat dimuat Kompas.com dua tahun silam. Ia mengatakan bahwa sikap oportunistic behavior merupakan cerminan dari perilaku masyarakat dalam skala besar, baik itu kelas atas, kelas menengah, ataupun kelas bawah yang cenderung untuk lebih mengutamakan kesempatan yang ada untuk memaksimalkan keuntungan pribadi daripada sifat empati, sifat ikut merasakan penderitaan orang lain, dan menolong orang lain.
Ah, sepertinya dugaan saya selama ini benar. Selama ini kita marah-marah, mengutuki, dan memaki para koruptor yang mencuri uang negara, bukan karena merasa dikhianati sehubungan dengan uang pajak kita dicuri, bukan karena kita cinta negara sehingga menuntut pejabat untuk adil dan jujur. Tapi, karena kita merasa iri sekaligus dengki dengan kenyataan bukan kita yang berada di posisi mereka dan menikmati uang dengan jumlah besar.
Lantas, Apa bedanya kita dengan para koruptor? Benar, kita hanya tidak memiliki kesempatan yang sama seperti mereka untuk menikmati segunung harta curian itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H