Dalam rangka melindungi diri sendiri dan menjaga iklim pendukung di antara para simpatisan pasangan calon presiden, saya merasa perlu memberikan sedikit klarifikasi sebelum melanjutkan tulisan ini.Â
Peringatan! Tulisan ini sepenuhnya bersifat objektif dan asumtif. Tulisan ini menggunakan pandangan pribadi, fakta dan sedikit riset sederhana sebagai fondasi argumennya. Tulisan ini didasari oleh dilema saya yang saat ini masih belum memantapkan hati untuk mendukung salah satu pasangan calon presiden.
Jadi jelas bahwa saya bukanlah utusan dari salah satu pasangan calon presiden. Sebaliknya, saya ingin sedikit mengulas setiap calon presiden dari sudut pandang orang awam.
Saya paham betul jika pembaca tidak memiliki banyak waktu, begitu pula penulis. Maka dari itu, tulisan ini akan khusus membahas rekam jejak kontroversial calon presiden. Adapun pembahasan tentang calon wakil presiden akan diulas di artikel yang berbeda.
Bila Anda sama seperti saya yang masih bingung dalam menentukan dukungan, tolong untuk tidak berharap lebih pada ulasan-ulasan di bawah. Anda bisa menjadikan media-media arus utama sebagai rujukan dan referensi dalam menentukan dukungan, itu pun bila masih ada yang netral.
Calon Presiden Nomor 01
Jujur saja, kelihaian Anies Baswedan dalam bertutur kata di setiap forum, resmi dan tidak resmi, membuat mata saya berbinar terkagum-kagum. Ia seakan representasi dari pemimpin arif dan bijaksana, yang tahu harus bicara apa di situasi apapun dengan durasi berapa pun.
Lawan-lawan politiknya bahkan tidak segan mengakui keterampilan Anies yang satu itu. Namun demikian, bukan lawan politik namanya jika hanya memuji. Kelancaran Anies dalam bertutur kata dinilai tidak sejalan dengan kelancaran implementasi dari perkataannya. Alias hanya jago ngomong, tidak jago eksekusi. Belakangan, gelar omon-omon disematkan kepadanya oleh Calon Presiden 02 Prabowo Subianto, tentu secara tersirat.
Terdapat beberapa kontroversi yang mengitari Anies selama menjadi politisi, khususnya sewaktu ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Di antaranya:
Politik Identitas di Pilgub DKI Jakarta 2017. Dalam rangka memenangkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, Anies dianggap menggunakan pakaian 'Islam' sebagai branding utamanya. Hal ini diakui oleh Mardani sebagai Ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi kala itu, ia menyebutkan bahwa pasangan Anies-Sandi memanfaatkan momentum Aksi 212 untuk mencari suara dari umat Islam.
Bagi saya, politik identitas akan selalu melekat pada setiap politisi. Ia menjadi semacam branding yang tidak bisa lepas, apalagi bila itu berkaitan dengan agama. Sulit kiranya membayangkan Anies harus beribadah di gereja sementara waktu untuk menghilangkan status Islamnya.
Kontroversi berikutnya berkaitan dengan janji kampanye Anies untuk mengatasi banjir di Jakarta. Janji Anies untuk membangun 1.8 juta titik sumur resapan ternyata jauh dari harapan. Titik sumur resapan yang berhasil dibuat hanya sekitar 3000. Sekali lagi, banjir masih harus menjadi salah satu ciri khas Ibu Kota disamping gedung-gedungnya yang menjulang tinggi.
Kontroversi terakhir masih berkaitan dengan janji kampanye, yaitu Pembangunan Hunian Layak atau yang populer dengan sebutan Program Rumah DP 0%. Janji ini disebut tidak berjalan lantaran jumlah yang diharapkan jauh dari target awal yaitu sebanyak 250.000 unit. Anies hanya sanggup membangun 2.322 unit menjelang akhir masa jabatannya. Belakangan, Covid-19 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan macetnya anggaran untuk program ini.
Dua kontroversi terakhir cukup klasik bila kita mengingat sedang berbicara tentang politik. Potensi kegagalan dalam menjalankan janji kampanye tentu akan selalu ada, entah itu setingkat presiden yang melemparkan janji, atau sekadar ketua desa di lingkungan tempat tinggal kita.
Dalam hal ini, sepertinya kemampuan bertutur kata Anies yang baik tidak diiringi dengan kemampuan hitung-hitungan yang mumpuni dalam menentukan target progam kerja, sehingga menyebabkan ia kewalahan dalam mencapai target yang ia sebutkan sendiri.
Calon Presiden Nomor 02
Kehadiran Prabowo Subianto sebagai calon presiden di pemilu kali ini menandai peringatan genap empat kali Prabowo ikut serta dalam Pemilihan Umum sebagai calon presiden/wakil presiden. Tiga edisi pemilu sebelumnya (2009, 2014, 2019) ia urung menjadi RI 1/ RI 2. Pada Pemilu tahun 2019 ia bahkan dikalahkan back to back oleh Joko Widodo.Â
Dikalahkan tiga kali berturut-turut dalam sebuah kompetisi mungkin sudah akan membuat orang lain bermuhasabah diri dan mengambil jalan ninja yang lain. Tetapi tidak dengan Prabowo, latar belakangnya sebagai prajurit militer yang militan seakan membuat ia tidak tahu kapan harus berhenti mencoba. Sebuah bentuk motivasi yang mendorong kita untuk tidak kenal menyerah.
Prabowo seakan sudah menjelma menjadi maskot pemilu itu sendiri. Di mana ada pemilu, di sana ada Prabowo.
Keikutsertaannya dalam pemilu kali ini lagi-lagi harus membuat para lawan politik kembali membuka lembaran hitam Prabowo di masa lampau. Pengabdiannya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan di kabinet Jokowi nyatanya tidak membuat catatan hitam itu memudar. Sebaliknya, ia malah turut menambah daftar tersebut. Berikut kontroversi yang mengiringi Prabowo pada pemilu kali ini:
Kasus Penculikan Aktivis Peristiwa Mei, 1998. Isu ini seakan sudah menjadi bagian dari tubuh Prabowo itu sendiri. Saking hebatnya, catatan hitam ini membuat para aktivis HAM muncul ke permukaan, walau terjadi setiap lima tahun sekali. Para lawan politik tidak pernah bosan untuk mengingatkan kita tentang seberapa 'kejam' Prabowo di masa lalu.Â
Pada saat itu, Prabowo menjabat sebagai Panglima Komando Catatan Strategis Angkatan Darat. Ia mengaku bahwa pada saat itu dirinya mendapat titah dari atasan untuk melakukan 'penculikan' terhadap 23 aktivis pro demokrasi. Hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah benar-benar terselesaikan. Saya tidak akan heran bila isu ini kelak kembali menyeruak ketika Prabowo memutuskan untuk sekali lagi masuk ke ring debat Pemilu 2029.
Kontroversi kedua berkaitan dengan status Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, yaitu polemik gagalnya food estate. Prabowo ditunjuk sebagai Koordinator proyek tersebut. Lahan pertanian seluas 17,000 ha sawah dan 600 ha perkebunan singkong yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua dan NTT mangkrak alias gagal panen.
Terlalu banyak korban dalam proyek ini, mulai dari warga setempat yang harus rela digusur, para hewan yang kebingungan rumahnya dijarah, hingga deforestasi hutan. Sulit untuk mencari sisi baiknya, yang bisa kita lakukan hanya mengaminkan perkataan Jokowi yang menyebutkan bahwa proyek ini akan terlihat hasilnya setelah tiga hingga tujuh kali panen.Â
Kontroversi terakhir berkaitan dengan upaya Prabowo untuk menjadi penengah dalam konflik Ukraina dan Rusia. Usulan yang Prabowo sampaikan dalam acara Shangri-La Dialogue di Singapura mendapat penolakan keras dari pihak Ukraina. Katanya, usulan itu lebih terdengar sebagai usulan Rusia alih-alih berasal dari Indonesia.
Berbeda dengan Anies, kebanyakan kontroversi Prabowo berkaitan dengan eksekusinya sebagai pejabat negara yang dianggap blunder dan merugikan masyarakat serta negara. Sepertinya gimmick Gemoy sekali lagi harus bisa menutupi kontroversi Prabowo mengingat hari pemungutan suara menyisakan kurang dari dua pekan.
Calon Presiden Nomor 03
Ganjar Pranowo merupakan satu-satunya calon presiden yang berasal dari kalangan akar rumput. Ia seakan menjelma menjadi Joko Widodo jilid dua. Bukan hanya karena latar belakangnya sebagai 'orang biasa', tetapi juga sama-sama berperan sebagai 'Petugas Partai' yang ditugaskan ibu ketua partai untuk mengurus negara.
Jika ada satu hal yang membuat Ganjar gagal menjadi presiden, itu pasti karena peran Petugas Partai yang ia emban. Sulit untuk melihat Ganjar memimpin negeri sambil harus tetap menyuapi kemauan ketua partainya. Bagi saya, peran Presiden sudah otomatis memutus hubungan dengan partai, atau setidaknya hal tersebut tidak harus diumbar di muka umum bila harus tetap demikian.
Saya membayangkan Ganjar dan tim kampanyenya yang harus menghabiskan energi hanya untuk meng-counter attack ucapan ketua partainya sendiri. Melalui banner bertuliskan "Tuanku ya Rakyat", Ganjar seakan ingin meluruskan kesalahpahaman yang dibuat oleh ketua partai.
Sementara itu, jejak kontroversi Ganjar dapat ditelusuri kala ia menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah periode 2013-2023. Salah satu kontroversi bahkan masih melekat diingatan para pecinta sepak bola. Beberapa kontroversi tersebut di antaranya:
Konflik Agraria: Wadas dan Rembang. Kontroversi ini muncul kala Ganjar harus membuat keputusan sulit dengan memberikan izin pertambangan di dua lokasi berbeda, yaitu Wadas dan Rembang. Warga yang tidak terima lingkungannya akan dirusak berbondong-bondong menyeret pemerintah Jawa Tengah ke pengadilan. Meski telah melalui perjuangan yang panjang, tambang ini akhirnya beroperasi penuh.
Kontroversi kedua masih melibatkan perizinan yang harus dikeluarkan oleh Ganjar selaku Gubernur Jateng. Kali ini Ganjar membuat kegaduhan dengan menolak kedatangan Timnas Israel U-20 di ajang Piala Dunia U-20 yang digelar di Indonesia. Ia beralasan bahwa sikapnya itu sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina dan loyalitasnya terhadap partai. Â Akibatnya, Indonesia gagal menjadi tuan rumah dan banyak pihak mengalami kerugian macam UMKM. Lebih parahnya lagi, sikap Ganjar tersebut ternyata tidak membuat Palestina merdeka atau terhindar dari misil Israel.
Kontroversi terakhir dari Ganjar Pranowo berkaitan dengan janji kampanye untuk menurunkan angka kemiskinan di Jawa Tengah. Target kemiskinan yang awalnya 6,48%-7,48% ternyata cukup jauh di luar ekspektasi. Pada 2023, angka kemiskinan Jateng menunjukkan 10, 77% atau sekitar 3,79 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan.Â
Lagi-lagi kontroversi soal janji kampanye cukup klasik. Faktor Covid-19 yang di luar kendali pemerintah, dalam hal ini Ganjar, agaknya membuat angka 10,77% bukan sepenuhnya salah Ganjar.
Kesimpulan
Terlepas dari semua kontroversi yang melekat pada setiap calon presiden, saya cukup gembira bahwa Pemilihan Presiden tahun ini diikuti lebih dari dua pasangan calon. Jumlah dukungan dari masyarakat menjadi lebih merata dan tidak terkonsentrasi pada dua kubu saja, hal itu cukup mengurangi ketegangan dan tensi di antara para pendukung. Tidak seperti pemilu sebelumnya yang hanya terbagi menjadi dua kubu sehingga bermunculan istilah-istilah yang kurang enak didengar macam cebong dan kampret.
Percayalah Kompasianer, siapapun presidennya orang yang akan mengeksekusi program mereka adalah orang yang sama yang saat ini duduk di kursi pemerintahan. Perbedaan mendasarnya hanya terletak pada komposisi pejabat dari setiap partainya. Bisa kita ingat, partai pemenang di pemilu sebelumnya secara terang-terangan meminta presiden agar jumlah pejabat dari partainya lebih banyak dibanding pejabat dari partai lain. Maka kesimpulan frematurnya, permintaan yang sama pasti akan terjadi pada partai pemenang pemilu kali ini.
Ah sepertinya memang benar, pemilu tahun ini bukan tentang memilih kandidat yang terbaik di antara yang terbaik. Tetapi, memilih calon yang kekurangan dan kesalahannya paling bisa kita toleransi.
Fakta dan catatan kontroversi pada artikel ini disadur dari bijakmemilih.id, sebuah situs yang menyediakan informasi akurat dan berkualitas seputar kandidat dan partai politik pada Pemilihan Umum 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H