Ketakutan terbesarnya adalah si kucing kelak akan hamil dan kerumitan mengurusnya akan berlipat ganda karena harus turut mengurus anak-anaknya juga.Â
Di saat yang bersamaan, kucing tidak memiliki nilai guna sebanyak ayam atau ikan. Ia tidak bisa disembelih lalu menjadi kudapan keluarga, pun tidak bisa dijual karena tentu tidak ada orang yang membutuhkan kucing liar untuk dipelihara.
Singkat cerita, aku selalu mengalami kekalahan ketika berdebat dengan orang tua dikala memiliki niatan untuk memelihara kucing. Meskipun, di satu atau dua kesempatan, mereka pernah mengizinkan aku untuk memelihara kucing, tentunya setelah pusing mendengar raungan ala anak kecil yang menyakitkan telinga.Â
Setelah mendapat izin memelihara kucing, seakan memvalidasi ketakutan Ibu sebelumnya, kebanyakan dari kucing-kucing itu malah berlaku kurang ajar. Mencuri ikan di meja, buang air di kursi, meninggalkan jejak kaki kotor, dan sederet kelakuan buruk lainnya yang membuat keadaanku semakin terpojok.Â
Dasar kucing keparat!Â
Dia tidak tahu perjuanganku yang berdarah-darah dalam mengusahakan hak hidupnya di keluarga ini, malah mendapat balasan yang membuatnya terlempar kembali ke jalanan.
Setelah bertahun-tahun tidak pernah lagi mencoba memelihara kucing, rupanya kebiasaan aku yang suka memungut kucing masih saja bersemayam dalam diri.Â
Pertemuan dengan si Poni di posko KKN menjadikanku gelap mata. Tanpa pikir panjang, aku langsung meminta izin kepada pemilik posko untuk turut membawa si Poni pulang ke rumah. Kebetulan mereka sudah memiliki cukup banyak kucing, sehingga proses pengalihan majikan tidak memakan terlalu banyak bujukan.
Pasca sampai ke rumah, Ibu yang terbelalak melihat aku membawa kucing dari tempat KKN tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mungkin mengembalikan si kucing ke pemiliknya yang jauh, tidak bijak juga bila harus melepasnya di jalanan yang tidak si kucing kenal. Maka, dengan berharap si kucing bisa kooperatif dan tidak mengulangi kesalahan pendahulunya, jadilah ia anggota keluarga kami yang kesekian.Â
Butuh waktu beberapa bulan sebelum kucing ini benar-benar diterima di keluarga kami. Beruntunglah usia si kucing masih sangat belia waktu itu, sehingga ia bisa mempertontonkan kelucuan dan kegemasannya kepada anggota keluarga yang lain. Sebuah taktik merebut hati yang cukup efektif. Seakan ia sedang menunjukkan nilai gunanya kepada kami, yaitu sebagai bahan hiburan. Sebuah poin yang tidak dimiliki ayam dan ikan, karena kami tidak mungkin mengelus-ngelus ayam yang bau kotoran atau mengelus ikan yang bau air kolam.
Seiring berjalannya waktu, si kucing terlihat jumawa karena merasa bahwa jasanya begitu besar dalam memberikan ketentraman dan keharmonisan keluarga. Ia bahkan tidak segan untuk masuk ke dalam kamar melalui jendela di malam hari dan berbagi ranjang yang sama denganku. Sebagai gantinya, ia rela tubuhnya dijamah oleh kami yang gemas melihatnya.Â