Mohon tunggu...
Putri Pamuji
Putri Pamuji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ba'ti Putri Pamuji (Putri), Mahasiswa S2-Akuntansi Universitas Airlangga Surabaya

Putri, Lahir di Trenggalek, 12 Oktober 1988 Sedang menempuh studi Magister Akuntansi di Universitas Airlangga Surabaya; Read-Write Enthusiast; Culinary Business Fighter

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saat Kita Dituntut untuk Selalu Positive Thinking, Bagaimana dengan Toxic Positivity?

9 Oktober 2021   09:49 Diperbarui: 9 Oktober 2021   10:12 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpikir positif atau positive tinking penting untuk dibiasakan agar terhindar dari rasa kecil hati pada kondisi yang dihadapi. Pemikiran positif akan mempermudah diri melakukan afirmasi positif, meningkatkan semangat untuk melakukan perilaku positif, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Melihat segala sesuatu dengan pemikiran positif akan memberikan ruang pada pemikiran logis sebelum menghimpun kesimpulan. Menciptakan sebuah proses penundaan sekejap untuk memberikan kesimpulan dapat mengurai emosi yang meletup-letup. Emosi yang terurai dapat menstabilkan tension pada jantung sehingga lebih rileks.

Berpikir positif berdampak baik untuk kesehatan fisik maupun psikis. Akan tetapi jika berlanjut secara berlebihan, meskipun disebutnya positif, dapat memberikan dampak negatif. Dampak negatif dari berpikir positif yang berlebihan disebut toxic positivity.

Menurut Dr. Jaime Zuckerman, Psikolog Klinis di Pennsylvania, Toxic Positivity adalah asumsi baik oleh diri sendiri atau orang lain, bahwa meskipun seseorang sedang mengalami emosi negatif atau situasi sulit, mereka seharusnya tetap memiliki pola pikir positif.

Toxic positivity adalah dampak dari pemikiran ataupun afirmasi positif secara berlebihan baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain sehingga orang yang bersangkutan merasa diri harus tetap terlihat baik-baik saja meskipun dalam kondisi yang sebenarnya tidak baik-baik saja.

Sebagai contoh, seseorang yang kondisi ekonominya pas-pasan, mengalami pencurian perhiasan dalam jumlah yang tidak sedikit. Dalam hatinya muncul perasaan sedih, kecewa, dan menyesal. Akan tetapi dirinya berupaya berpikir positif bahwa ini adalah takdir Tuhan, harta bukanlah segalanya, tidak boleh terlihat sedih di depan anak-anak, dan seterusnya. Terus-menerus melakukan afirmasi positif kepada diri sendiri untuk menepis perasaan yang sebenarnya terjadi pada dirinya, tindakan ini termasuk toxic positivity.

Beranggapan harus terlihat baik-baik saja atau seolah tidak terjadi apa-apa ditengah carut marutnya perasaan merupakan sebuah bentuk pemaksaan diri. Meskipun tujuannya adalah agar tercipta tindakan yang positif (tidak menangis, misalnya), hal ini akan memberikan beban dan tekanan kepada diri sendiri yang alih-alih menyehatkan psikologis malah berujung pada meracuni diri, membuat diri semakin stres bahkan depresi.

Perlu diketahui bahwa selain memiliki emosi positif, secara biologis manusia memiliki emosi negatif yang perlu diekspresikan. Seperti itu pula seharusnya dalam berpikir positif harus dilakukan secara sadar seimbang. Berpikir positif tidak serta merta harus menghapuskan emosi negatif. Keseimbangan diperlukan untuk menciptakan pemikiran yang sehat.

Berikut beberapa langkah yang akan bermanfaat untuk menghadirkan pemikiran positif dan mengelola positivity agar pada porsi seimbang.

Sandingkan pemikiran positif dengan ilmu agama. Agama apapun secara umum akan mengajarkan kebaikan dan keseimbangan hidup. Setiap agama memiliki tuntunan hidup yang dipatenkan pada aturan Tuhan. Terlebih sebagai orang Islam, sudah dipastikan tuntunan hidup berpusat pada Al-Qur'an dan Al-Hadist. Menghadapi segala macam permasalahan telah ditentukan harus disikapi dengan langkah sesuai tuntunannya.

Kapan diperbolehkan menangis dan kapan diharuskan untuk berhenti menangis. Bagaimana harus bersabar dan dalam kondisi bagaimana harus bertindak. Semuanya telah diberikan batasan yang jelas dalam aturan agama. Semakin mengikuti ilmu agama sebagai patokan awal dalam berpikir positif maka akan tercipta keseimbangan cara hidup demi terwujudnya sehat jiwa dan raga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun