Harusnya ini bisa menjadi "ruang diskusi". Pemberian penghargaan tapi serasa tidak menghargai sebuah proses. Tentu ini menjadi catatan bersama untuk dikemudian hari. Sekali lagi desa wisata bisa mandiri intinya
yang jelas desa wisata dituntut harus kuat di adminstrasi dalam sertifikasi ini. Cuma pihak penyelenggara yang memberikan jika mencederai " Administratif " Tentu jadinya kurang elok. Terkesan nantinya di mata umum ISTC seperti tidak ada bobot. Hanya jatuhnya sekali formalistik tanpa sebuah elegansi.
Dalam sertifikasi tersebut, terdapat kurang lebih 174 parameter atau komponen yang harus terpenuhi.
Ini adalah serangkaian proses untuk ditindaklanjuti. Apakah desa wisata memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh Standar Internasional Induk UNWTO atau tidak. Cuma berdasarkan penuturan Bapak Direktur Tata Kelola Destinasi Pariwisata Indra Ni Tua Bahwa 174 indikator tersebut masih dirasa "jlimet".
Tidak mengarah verifikasi berdasarkan yang subtantif tapi lebih kepada administratif. Tentu ini yang harus dikaji prosesnya. Sehingga fakta empirik di lapangan dengan administratif bisa berjalan bersamaan. Namun yang menjadi titik penting adalah. Dengan adanya ISTC ini, para penggerak-pengelola desa wisata menjadi lebih memahami bahwa prinsip keberlanjutan itu sangat penting.
Berpikir regeneratif bukan exploitatif. Semakin melestarikan terlebih semakin mensejahterakan. Dan pihak terkait dalam hal ini "Kemenparekraf" tentu harus ada kontribusi serta dorongan untuk bisa promosi ke tanah dunia luar-Internasional (lisensi-ISTC). Karena sekali lagi desa dan pengelola desa wisata sudah disibukan dengan proses kontruksi sosial dengan dinamika ketegangan kreatif yang ada. Sehingga hal hal yang bersifat administratif pelengkap sudah seyogyanya birokrasi yang membantu memfasilitasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H