Desa Wisata Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Isrimewa Yogyakarta terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta dengan jarak tempuh plus minus 17 Km dari pusat kota/Propinsi DIY. Tepatnya di belakang makam Raja-raja Mataram atau yang lebih dikenal dengan Makam Sultan Agung di Pajimatan Imogiri.
Desa Wisata Wukirsari mempunyai potensi dan daya tarik wisata yang sangat luar biasa, baik daya tarik alam, budaya, edukasi dan paket paket wisata lainnya. Keberadaan Desa Wisata Wukirsari diapit oleh dua makam yang merupakan makam bangsawan - Kerajaan. Yakni, makam Sultan Agung (Makam Raja-raja Mataram) dan makam Penembahan Juminah yang masih satu komplek dengan makam Sunan Cirebon (Syeh Abdul Karim) di Giriloyo.
Produk unggulan sebagai sovenirnya adalah Batik Tulis klasik yang diproses warna dengan menggunakan pewarna alam dari ekstrak tumbuh tumbuhan yang bisa didapat di lingkungan sekitar.
Namun demikian, para pengrajin batik tulis di desa wisata wukirsari ini juga masih tetap menggunakan pewarna sintetis, karena batik yang diproduksi 99% adalah batik tulis tradisional/klasik , di mana batik klasik/tradisional ini identik dengan warna sogan (Kombinasi biru dan coklat) yang mudah didapat dari warna sintetis dibanding dari warna alam.
Paket wisata unggulannya adalah "Edu Wisata Batik Tulis". Wisatawan dikenalkan dengan motif motif klasik, sejarah batik, alat dan haban batik, serta teori membatik. dan yang lebih menarik, wisatawan diajak praktik membatik di atas media kain ukuran 30 x 30 Cm dengan durasi 1-2 jam saja dan hasil karya bisa dibawa pulang masing masing sebagai sovenir.
Sertifikasi Desa Wisata
Sejak beberapa tahun terahir, Kemenparekraf membuat program sertifikasi desa wisata berkelanjutan. Hal tersebut sebagai bentuk komitmen dalam pengembangan desa wisata. Sehingga diharapkan pengelola wisata lebih dapat meningkatkan kreativitas dan selalu berinovasi dan mampu meningkatkan kualitas, daya saing, dan berkelanjutan - Sustainebel.
Di awal pelaksanaan program tersebut Kemenparekraf telah melakukan sertifikasi kepada 16 desa wisata yang tersebar diseluruh Indonesia, karena ini sifatnya nasional. Tentunya dari ke 16 desa wisata tersbut dipilih secara acak dari database Kemenparekraf terhadap desa wisata yang terdaftar dan terverifikasi di akun JADESTA (Jaringan Desa Wisata) Kemenparekraf.
Program sertifikasi desa wisata ini sebagai program keberlanjutan, artinya sertifikasi ini akan dilakukan setiap tahun. Tentunya di masa kepemimpinan Mas Menteri-Sandiaga Uno. Jika kemudian beliau tidak menjabat lagi kemungkinan program ini juga akan hilang keberlanjutannya.
Tahun ini (2022), kembali dilakukan sertifikasi untuk 5 desa wisata, namun tidak semuanya dapat lolos atau tersertifikasi, melainkan hanya dua desa wisata, yaitu Desa Wisata Alamendah Bandung, dan Desa Wisata Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul DIY. yang diterima oleh Jazir Hamid - Sekretaris Desa Wisata Wukirsari.
Penyerahan sertifikat oleh Mas Menteri Sandiaga Uno di arena pameran dari 50 desa wisata terbaik ADWI 2022 yakni tanggal 30 Oktober 2022 di depan gudung Sapta Pesona Kemenparekraf RI. Kenapa tidak di Gedung?
Harusnya ini bisa menjadi "ruang diskusi". Pemberian penghargaan tapi serasa tidak menghargai sebuah proses. Tentu ini menjadi catatan bersama untuk dikemudian hari. Sekali lagi desa wisata bisa mandiri intinya
yang jelas desa wisata dituntut harus kuat di adminstrasi dalam sertifikasi ini. Cuma pihak penyelenggara yang memberikan jika mencederai " Administratif " Tentu jadinya kurang elok. Terkesan nantinya di mata umum ISTC seperti tidak ada bobot. Hanya jatuhnya sekali formalistik tanpa sebuah elegansi.
Dalam sertifikasi tersebut, terdapat kurang lebih 174 parameter atau komponen yang harus terpenuhi.
Ini adalah serangkaian proses untuk ditindaklanjuti. Apakah desa wisata memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh Standar Internasional Induk UNWTO atau tidak. Cuma berdasarkan penuturan Bapak Direktur Tata Kelola Destinasi Pariwisata Indra Ni Tua Bahwa 174 indikator tersebut masih dirasa "jlimet".
Tidak mengarah verifikasi berdasarkan yang subtantif tapi lebih kepada administratif. Tentu ini yang harus dikaji prosesnya. Sehingga fakta empirik di lapangan dengan administratif bisa berjalan bersamaan. Namun yang menjadi titik penting adalah. Dengan adanya ISTC ini, para penggerak-pengelola desa wisata menjadi lebih memahami bahwa prinsip keberlanjutan itu sangat penting.
Berpikir regeneratif bukan exploitatif. Semakin melestarikan terlebih semakin mensejahterakan. Dan pihak terkait dalam hal ini "Kemenparekraf" tentu harus ada kontribusi serta dorongan untuk bisa promosi ke tanah dunia luar-Internasional (lisensi-ISTC). Karena sekali lagi desa dan pengelola desa wisata sudah disibukan dengan proses kontruksi sosial dengan dinamika ketegangan kreatif yang ada. Sehingga hal hal yang bersifat administratif pelengkap sudah seyogyanya birokrasi yang membantu memfasilitasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H