Korupsi seolah olah telah menjadi budaya bangsa Indonesia, banyaknya para koruptor yang tertangkap oleh KPK mengindikasikan bahwa negara kita yang tercinta ini adalah surganya para koruptor, dan lebih parahnya lagi koruptor - koruptor yang tertangkap adalah tokoh tokoh yang di anggap memiliki etika, moral dan pemahaman agama yang cukup baik, dan dianggap mustahil untuk melakukan praktek korupsi. Tapi pada kenyataannya tidak demikian.
Luar biasanya praktik korupsi di negeri ini menjadi masalah besar, seolah-olah belum ada vaksin ampuh untuk menetralkan kejahatan yang luar biasa ini (extraordinary crime). Berbagai cara dan tindakan telah dilakukan oleh para penegak hukum kita, termasuk memiskinkan koruptor, bahkan memberi hukuman mati.
Namun cara - cara tersebut tidak membuat para koruptor tersebut jera. Bahkan koruptor makin meningkat pesat di berbagai tingkatan, mulai dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bila praktik politik yang dijalankan oleh para elit politik dewasa ini mencerminkan ketidakdewasaan dalam berpolitik. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengaku sedih karena banyak terjadi korupsi berbagai lini pemerintahan. Pernyataan itu semakin kuat setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengeluarkan pernyataan mengejutkan.
Beberapa waktu lalu, pernyataan mengejutkan tersebut dikeluarkan ketika membuka orientasi kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintah daerah bagi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota di kantor badan Diklat Kemendagri baru-baru ini menyampaikan bahwa 291 kepala daerah dari 536 kabupaten/kota menjadi tersangka korupsi.
Angka tersebut meningkat tajam jika dikaitkan dengan informasi yang disampaikan Direktur Pengawas Keuangan Daerah BPKP Kasminto bahwa ada sekitar 173 kepala daerah terlibat kasus korupsi lewat 3.423 modus penyimpangan. Angka tersebut jelas fantastik dan luar biasa. Belum lagi para koruptor yang lari ke luar negeri. Hal ini Jelas menguatkan bahwa negeri ini adalah surganya bagi para koruptor.
Kita masih ingat kasus korupsi pemilihan Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Miranda Goeltom memberikan cek pelawat ratusan juta rupiah yang di anggapnya sebagai hal yang wajar oleh sejumlah politisi senayan.
Seorang guru besar perguruan tinggi Prof. Dr. Rudi Rubiandini. Rusadi Kantaprawira, saat itu dia menjabat anggota KPU. Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini tersandung kasus korupsi pengadaan tinta sidik jari Pemilu 2004. Ia dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri juga tidak luput dari korupsi. Guru besar tersebut tersandung dana nonbujeter saat dia menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Rokhmin divonis 7 tahun penjara.
Daftar nama nama yang tertera seperti di atas adalah orang-orang yang memiliki tingkat intelektualitas dan pendidikan yang lumayan tinggi. Namun, entah kenapa namanya masuk dalam daftar hitam penjilat uang rakyat ?. Anehnya lagi, Mereka seolah-olah terlihat tidak mempunyai dosa ketika di depan kamera dan terkesan blo'on dan tidak tahu apa-apa. Sama sekali tidak terlihat ekspresi penyesalan dan bahkan tidak mengaku bersalah ketika ditangkap KPK.
Berbagai kritikan dan sindiran : baik itu dengan kata - kata maupun melalui gambar karikatur telah dilontarkan melalui media oleh para tokoh dan para penegak hukum yang prihatin terhadap fenomena praktik korupsi. Ada yang mengusulkan memiskinkan koruptor, mempermalukan koruptor, di hukum gantung, disita, dan masih banyak lagi usulan - usulan yang sejenisnya. Namun hal itu tinggal hanya usulan semata. Pasalnya para penegak hukum masih terlalu lembek untuk merealisasikannya.
Bentuk dari rasa frustasi tersebut pada dasarnya adalah cara untuk menghilangkan praktik-praktik korupsi di negeri yang kita cintai ini, yang seolah-olah menjamur di berbagai tingkatan, mulai dati tingkatan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Kesulitan penegak hukum seperti KPK masih kesulitan membendung praktik korupsi tersebut.