Mohon tunggu...
Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan Mohon Tunggu... -

Santai Sajalah Kawan!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Resensi: Yesus dan Wong Cilik

2 September 2014   06:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:51 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Judul: Yesus dan Wong Cilik

Penulis: Pdt. Yosef P. Widyatmadja

Penerbit: BPK Gunung Mulia, 2012

Buku ini ditulis oleh seorang Pendeta yang bernama Josef P. Widyatmadja. Seorang Pendeta Tionghoa yang aktif dalam usaha perjuangan dalam melawan berbagai bentuk penindasan sosial, baik dalam bentuk kekerasan rasial atau kekerasan dalam bentuk penindasan sosial yang bersifat struktural.

“Yesus dan Wong Cilik” ini adalah sebuah buku, yang oleh penulis, disebut sebagai sebuah teologi rakyat. Walau A. A. Yewangoe, sebagai pemberi kata pengantar dalam buku ini, tidak selalu setuju dengan istilah itu. Tapi jika sudah membaca keseluruhan isi buku ini, kita akan dibawa pada sebuah pengertian, yang  juga sudah disimpulkan oleh Yewangoe, bahwa yang dimaksud dengan teologi rakyat adalah berteologi bersama rakyat. Artinya teologi lahir dari pergumulan yang berasal dari rakyat. Rakyat dalam hal ini tidak hanya menjadi objek dari teologi, tapi menjadi subjek dari teologi itu sendiri. Buku ini lahir bukan dari balik perpustakaan, tapi buku ini lahir dari pergulatan penulis dalam interaksinya dengan segala persoalan yang terjadi di lapangan bersama rakyat.

Diakonia menjadi tema utama buku ini. Buku ini memberi defenisi bahwa diakonia bukanlah sekedar memberi uang pada si miskin. Diakonia bukanlah pencipta status “pemberi” dan “penerima”. Tapi penulis dalam buku ini justru memberi sebuah defenisi yang “baru” dalam situasi teologi Indonesia bahwa diakonia adalah bicara tentang pemberdayaan. Pemberdayaan yang dimaksud adalah melepaskan struktur-struktur penindas dalam sistem masyarakat yang memiskinkan. Inilah inti dari diakonia. Diakonia harus dimulai dari analisis permasalahan sosial kemudian menjawab permasalahan itu dengan cara yang transformatif.

Untuk memahami “cara yang trasnformatif” ini, memang ada baiknya jika kita mulai melihat tiga arah diakonia yang dipaparkan dalam buku ini. Pertama, diakonia karitatif. Diakonia karitatif adalah sejenis diakonia yang umum dipahami dalam konteks gereja-gereja sekarang. Sesuai dengan istilah ‘karitatif’, yaitu memberi, maka diakonia jenis ini adalah sejenis diakonia yang memberi bantuan tunai langsung pada yang membutuhkan. Bisa dijelaskan dengan perumpamaan, jika orang lapar, maka dia langsung diberi ikan. Kedua, diakonia reformatif adalah sejenis diakonia yang membangun sarana dan prasarana yang berguna untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Jenis diakonia ini diberi istilah sebagai diakonia pembangunan. Jika orang lapar, dia tidak diberi ikan, tapi diberi alat untuk memancing. Sementara jenis yang ketiga adalah diakonia transformatif. Diakonia ini adalah jenis diakonia yang mencoba untuk mentransformasi struktur-struktur masyarakat yang menindas dan banyak menyusahkan orang banyak. Jika orang lapar diberi alat pancing, maka yang jadi soalnya adalah apakah dia punya kolam untuk memancing ikan itu? Ya, ada, karena diakonia reformatif sudah melakukannya. Namun pertanyaannya adalah apakah kolam itu bersih sehingga ada ikan yang bisa ditangkap didalamnya? Struktur masyarakat yang korup dan menindas membuat “ikan” tidak ada yang sehat. Dengan demikian, untuk membuat ikan itu bisa ada, maka kolam harus dibersihkan, alias harus ditransformasi. Struktur-struktur dalam sosial masyarakat itulah yang harus ditransformasi karena sifatnya yang menindas dan memiskinkan orang banyak.

Diakonia transformatif inilah yang menjadi nyawa dari buku ini. Buku ini menyediakan banyak contoh bagaimana diakonia transformatif dijalankan. Salah satu contoh yang digunakan adalah dengan metode “organisasi rakyat”. Organisasi rakyat adalah sebuah metode dimana rakyat diatur sedemikian rupa agar mampu menyelesaikan semua permasalahan yang ada dalam situasi konteks mereka. Dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, rakyat diorganisasi dengan rapi untuk menjawab persoalan itu. Buku ini memberi beberapa contoh nyata apa dan bagaimana organisasi rakyat itu  dipraktekkan sesuai dengan pengalaman langsung penulis.

Buku ini bisa dikategorikan sebagai buku dengan haluan teologi pembebasan dalam konteks Indonesia. Pemilihan judul buku sangat cocok karena buku ini seolah ingin memberi tindakan praksis nyata apa yang harus dilakukan gereja dalam meneladani Yesus yang berpihak selalu pada wong cilik.

Seperti layaknya tulisan-tulisan dalam cakupan teologi pembebasan, buku ini jauh dari kesan teoretis. Buku ini sangat sederhana dan kuat dalam contoh-contoh kongkrit. Walau bobot kajian teologis, khususnya dibagian awal sebagai acuan atau landasan berpikir, tidak bisa diremehkan begitu saja karena sapuannya yang menyeluruh terhadap Alkitab, baik PB ataupun PL.

Buku ini semakin kuat karena usahanya dalam melihat konteks globalisasi, kehadiran LSM, dan relasinya dengan spiritualitas pembebasan untuk membangun visi nilai-nilai kerajaan Allah menjadi begitu relevan dengan pergulatan kekeristenan sekarang di Indonesia. Buku ini mengajak agar gereja dan kekristenan lebih sadar konteks dalam usaha mengembangkan sebuah diakonia yang lebih bersifat transformatif dari pada karitatif.

Jika pun ingin melihat kekurangannya, buku ini tidak memberi kita beberapa contoh segar dalam persoalan yang ada. Padahal cetakan pertama buku ini adalah tahun 2010, seharusnya banyak memberi contoh-contoh segar sehubungan dalam usaha pembebasan karena struktur-struktur penindas. Mengingat sejak 1998, informasi yang bebas dan reformasi yang kebablasan  justru membuat kehidupan masyarakat semakin berat dan perlu untuk ditolong. Tapi, buku ini tidak meyertakan kisah-kisah yang segar itu. Buku ini dominan dengan kisah-kisah perjuangan di era Suharto, dimana pembaca-pembaca muda sudah tidak memahami cerita itu karena konteksnya yang  jauh.

Secara pribadi, saya melihat buku ini masih memberi harapan bahwa tidak selamanya orang Kristen itu jelek dan jahat seperti yang saya pikirkan. Buku ini setidaknya bisa meredakan kesinisan dan pesimistik saya dalam menilai gereja karena sikap apatis dan apolitisnya. Buku ini memberi saya harapan bahwa masih ada orang Kristen yang masih peduli dan berpihak pada mereka yang miskin dan tertindas. Buku ini seperti oase bagi saya ditengah keringnya spiritualitas pembebasan dikalangan gereja dan teolog Indonesia yang masih sibuk berkecimpung dengan dogma dan persoalan prolegomena barat yang kental dengan semangat skolastik kering dan membosankan.

Singkatnya, buku ini saya rekomendasikan bagi mereka yang ingin melihat alternative lain dalam berteologi. Dalam situasi buku-buku teologi kita di Indonesia adalah kebanyakan berbahasa Inggris dan tidak relevan dengan situasi Indonesia, buku ini memberi alternative, ditulis dengan bahasa Indonesia dan dekat dengan persoalan hidup kita sehari-hari.[]

@rintologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun