Mohon tunggu...
Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan Mohon Tunggu... -

Santai Sajalah Kawan!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Resensi: A Theology of Liberation

18 Oktober 2014   20:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:33 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Penulis: Gustavo Guiterrez



Penerbit: Orbis Books, 1981



Tebal: 308





ISBN: 0-88344-478X

Teologi pembebasan sering disalahartikan oleh beberapa kalangan teolog dengan menuding bahwa teologi ini adalah turunan dari filsafat Marxisme. Sehingga tidak jarang, dalam banyak kisah, para Romo di Amerika Latin tempat teologi ini berkembang, sering dijadikan sasaran tembak pemerintah yang berkuasa dengan tuduhan subversif. Kisah paling terkenal yang sudah diangkat dalam layar lebar adalah kisah Uskup Romero yang tewas tertembak di depan altar ketika memimpin sebuah misa di gereja.

Namun jika sedikit lebih sabar dan kritis, tentu kita bertanya, "Betulkah tuduhan itu disematkan pada jenis teologi ini?" Untuk menjawab pertanyaan itu, maka tidak ada cara lain yang bisa digunakan selain melihat langsung metode berteologi dari sumber pertamanya. Salah satu sumber paling terkenal untuk membahas ini adalah sebuah karya teolog Amerika Latin, asal Peru, yang bernama Gustavo Guiterrez, dengan karya fenomenalnya, yaitu "A Theology of Liberation".

Sumber persoalan yang ingin dijawab oleh Guiterrez sebenarnya berangkat dari dua pertanyaan sederhana dalam usaha memaknai kehadiran orang Kristen dan Gereja ditengah konteks sosialnya. Pertanyaan itu adalah, "Apa sebenarnya arti menjadi seorang Kristen? Apa pula makna kehadiran Gereja ditengah konteks sosialnya?"

Dua pertanyaan sederhana tapi mendasar ini mengharuskan Guiterrez terlebih dahulu harus memetakan kondisi sosial masyarakatnya, dalam hal ini Amerika Latin, sebagai "locus theolocus"nya. Sudah menjadi hukumnya bahwa untuk memaknai sebuah kehadiran tidak bisa lepas dari persoalan dalam memahami konteks tinggalnya. Kehadiran tidak bisa dimaknai tanpa memahami konteks. Sehingga tidak mengherankan jika dibab awal buku ini, Guiterrez akan sangat kental dalam usahanya memetakan apa yang terjadi dimasyarakat Amerika Latin.

Buku ini lahir dalam kondisi masyarakat Amerika Latin yang mayoritas miskin dan tertindas. Dalam usahanya menganalisis kondisi sosial masyarakat Amerika Latin, Guiterrez memang memilih menggunakan analisis kelas Marxisme. Analisis kelas Marxisme memang membagi masyarakat menjadi dua kelas utama, yaitu yang tertindas (proletar) dan penindas (kapitalis). Masyarakat Amerika Latin, menurut Guiterrez, adalah masyarakat yang ditindas oleh kelas penguasa (kapitalis). Penindasan ini membuat kebanyakan masyarakat Amerika Latin hidup dalam situasi yang miskin, tidak bebas, terdehumanisasi, dan yang terparah adalah mereka tidak bisa menentukan arah dan takdir hidup sendiri. Penindas, dalam hal ini, memegang kontrol penuh terhadap hidup masyarakat kelas bawah yang notabene adalah masyarakat dominan di Amerika Latin. Situasi ini tentu menghadirkan kondisi hidup yang tidak baik dalam sosio kultural masyarakat Amerika Latin. Ketidakadilan dan penderitaan menjadi corak utama yang menghiasi kehidupan masyarakatnya.

Guiterrez melihat bahwa penindasan itu lahir dari kebijakan-kebijakan politik yang sering kali tidak menguntungkan masyarakat miskin. Kebijakan politik ini akhirnya menjadikan penindasan jadi bersifat sistemik. Jadi, tak salah jika Guiterrez akhirnya mengatakan bahwa semua yang terjadi, khususnya dalam hal penindasan, selalu bernuansa politis.

Dalam konteks yang demikianlah dua pertanyaan sederhana itu diajukan.

Disini perlu diluruskan bahwa analisis Marxisme digunakan hanya sebatas pada analisis konteks. Asumsi-asumsi dan presuposisi Marxisme sama sekali tidak digunakan oleh Guiterrez dalam membangun kerangka teologinya. Dengan demikian, tuduhan bahwa teologi pembebasan adalah turunan dari filsafat Marxisme serta merta gugur dan tidak beralasan.

Untuk menjawab dua pertanyaan mendasar itu, akhirnya Gustavo Guiterrez akan membangun kerangka pemikiran teologisnya yang disebutnya sebagai teologi kritis. Teologi Kritis adalah sebuah metode berteologi yang mendialektikakan antara keyakinan iman dan kondisi praksis sosiologisnya. Ini berangkat dari sebuah dasar pemikiran sederhana bahwa inti iman Kristiani adalah bicara tentang cinta, yaitu mencintai Tuhan dengan segenap totalitas kemanusiaannya dan mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri. Guiterrez meyakini bahwa cinta bukanlah abstaksi metafisika. Tapi sebaliknya, dia meyakini bahwa cinta hanya bisa dipahami jika diwujudnyatakan dalam sebuah aksi kongkrit, yaitu dalam situasi praksis. Dalam hal ini, teologi kritis yang diusungnya mengambil jarak dengan dua arah berteologi yang dominan dipahami yaitu bersifat spiritualitas a la monastri (dia sebut sebagai theology of wisdom) dan yang bersifat rasionalistik (yang mengutamakan konsistensi berpikir mengikuti metode saintifik murni).

Pendekatan yang digunakan oleh Gustavo Guiterrez dalam membangun kerangka teologi kritis ini bisa dikatakan sangat komprehensif. Dia menggunakan pendekatan biblika Perjanjian Lama yang dominan mengacu pada historis kritis Gerhard von Rad dan teologi Paulus dalam memaknai Perjanjian Baru. Khusus dalam Perjanjian Lama, Guiterrez sangat menekankan pendekatan kenabian yang digagas oleh von Rad, dalam hal ini pendekatan eskatologis. Selain itu, Guiterrez juga menggunakan soteriologi dan eklesiologi dalam usahanya membangun teologi kritis ini. Belum lagi penguasaanya tentang perkembangan sejarah pemikiran filsafat yang lengkap memberi kredit tersendiri pada kerangka teologis yang dibangunnya.

Inti teologi kritis yang dibangun oleh Guiterrez adalah bahwa teologi harus bersifat dan bersemangatkan pembebasan, yaitu pembebasan dari segala bentuk penindasan yang merendahkan martabat manusia (anti dehumanisasi). Ini kental sekali berangkat dari nilai eskatologis yang diyakininya. Eskatologi diyakini sebagi sumber nilai dan acuan kondisi masyarakat yang paling ideal dengan semangat egalitarianisme dan emansipatoris. Nilai eskatologis yang bersifat masa depan (future) ini, diyakini memberi pengaruh pada orientasi praksis sekarang (present). Ini berangkat dari fungsi kenabian Perjanjian Lama, dimana inti ajaran dan teguran para nabi selalu dicerminkan pada nilai-nilai eskatologis dan dibahasakan dalam pergumulan konteks yang bersifat sekarang (present). Akhirnya nilai-nilai eskatologi itu menjadi dasar pengharapan masyarakat tertindas (konsep pengharapan ini diadopsi dari teolog-filsuf Marxisme, Ernst Bloch dan theology of hope dari Multman). Inilah cikal bakal teologi kritis ini diberi nama teologi pembebasan.

Guiterrez kemudian memberi pemaknaan baru terhadap karya soteriologi Kristus. Karya Yesus di kayu salib dimaknai agak cukup berbeda, khususnya dalam memaknai penebusan terhadap dosa. Dosa dimaknai tidak hanya bersifat metafisik dan hanya berpengaruh pada aspek kehidupan setelah kematian. Dosa dimaknai sebagi sebuah bentuk penolakan terhadap Tuhan dan sesama. Manusia yang menolak Tuhan berarti menolak segala ketetapan dan hukumNya, sementara menolak manusia berarti memperlakukan manusia tidak sebagai mana manusia. Menolak manusia berarti memperlakukannya dengan cara yang tidak manusiawi, menghilang kebebasannya, menindasnya, dan membatasi dirinya dalam menentukan takdir hidupnya sendiri. Manusia berdosa adalah manusia yang menindas sesamanya. Manusia berdosa adalah manusia yang kehilangan cintanya pada sesama. Berdosa, dalam defenisi Guterrez, adalah menolak untuk mencintai. Yesus menebus ini dalam karya keselamatan. Artinya penebusan dosa ini justru untuk membuat manusia lebih mencintai Tuhan dan sesamanya serta merta menghilangkan sikap menindas sesama. Jadi karya keselamatan Yesus adalah bersifat pembebasan.

Jika kembali lagi pada dua pertanyaan dasar diawal, maka peran orang Kristen dan makna kehadiran Gereja ditengah masyarakat tertindas haruslah berperan aktif dalam usaha pembebasan. Kata Paulus dalam 2 Korintus 3:17, "Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan." Orang Kristen dan Gereja adalah orang-orang yang dipenuhi Roh Allah, oleh karena itu dia harus memerdekakan sesamanya. Dikarenakan sistem penindasan selalu dalam bernuansa politis, maka dalam usaha pembebasan tidak terhindarkan bahwa gereja pun, dalam usaha pembebasannya akan selalu bernuansa politis. Dalam asumsi analisis sosialnya bahwa perjuangan antar kelas selalu dalam situasi antagonis, maka bersikap netral selalu akan menguntungkan pihak penguasa. Oleh karena itu, Guiterrez menganjurkan agar Gereja dan orang Kristen tidak bersikap netral, tapi sebaliknya selalu berpihak pada kelas yang lebih lemah agar tercipta kesetaraan dan situasi emansipasi. Inilah tugas misi gereja dalam konteks seperti itu.

Buku ini sangat relevan dalam situasi Indonesia yang mirip dengan Amerika Latin. Indonesia adalah negara dengan masyarakat dominan hidup dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan pun datang dari kebijakan politis yang tidak menguntungkan masyarakat miskin. Secara tidak langsung, kemiskinan di Indonesia terjadi karena penindasan yang bersifat sistematis (hal ini pun diakui Pdt. Josef P. Widyatmadja dalam buku "Yesus dan Wong Cilik").

Kesamaan konteks ini mengakibatkan metode berteologi pun seharusnya tidak lagi meniru Eropa dan Amerika bagian utara yang dominan dalam permainan abstraksi metafisis. Teologi dalam konteks Indonesia seharusnya lebih bersifat praksis dalam menjawab kebutuhan dan persoalan konteks, yaitu pemiskinan sistematis itu.

Kritik dialamatkan kepada asumsi Marxisme yang digunakan Guiterrez. Kelas yang selalu dikondisikan bersifat antagonis sejujurnya tidak lagi bisa diterima sepenuhnya. Sejak Jurgen Habermas mengatakan bahwa manusia modern sekarang adalah masyarakat komunikasi, relasi antagonis itu otomatis tidak lagi bisa diterima secara bulat. Asumsi masyarakat kelas, baik itu bersifat antagonis atau komunikatif, akan sangat mempengaruhi pola gerak keberpihakan pada yang miskin dalam usaha membebaskan.

Tapi kritik ini pada akhirnya tidak bisa menihilkan bahwa metode berteologi dan konten teologinya sendiri adalah relevan dengan apa yang kita hadapi di Indonesia. Ada baiknya cara Guiterrez berteologi bisa dikembangkan lebih relevan dan elastis sesuai dengan kondisi praksis Indonesia. Guiterrez mengingatkan bahwa kegiatan berteologi jangan jatuh pada kepuasan dir sendiri, tapi untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Khususnya bagi para pendeta, teolog, dan mahasiswa teologi, buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca, direfleksikan, dan digumulkan lebih jauh demi memajukan perteologian kita dan yang lebih penting adalah untuk menciptakan kehidupan sosial masyarakat yang lebih baik dan manusiawi. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun