Karena Islam tak menghapus tradisi baik. Dari itu ada ada kaidah ushul Al-adat Muhkamatun. Pun adagium yang sangat populer di kalangan pesantren  al- muhafadah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.
Memelihara tradisi yang baik dan mengadopsi kebaruan yang mengandung kebaikan.
Berangkat dari situ kaum pesantren yang memiliki tradisi akar sejarah panjang memandang segala sesuatu tidak taken for granted. Tetapi selalu mencari alternatif untuk kemashlahatan umat atau kebaikan umat manusia.Â
Karena esensi agama adalah kemanusian. Ada memang kewajiban menjaga agama tetapi agama memerintah untuk mendahulukan kemanusiaan juga kasih sayang.Â
Dalam praktik syariah ketika hendak shalat persedian air sangat terbatas karena kemarau panjang maka wudhunya di ganti dengan tayamun sementara air yang terbatas itu untuk minum manusia juga hewan ternak.Â
Kini seantero jagat terfokus bagaimana menghadapi pandemi Covid-19. Keagamaan yang moderat tentu tidak hanya terpaku kepada keyakinan takdir Tuhan tanpa dibarengi ikhtiar.Â
Melainkan menselaraskan ordonansi agama dengan ketentuan sains yang bersifat faktual dan empiris.
Dalam pandang sains pandemi mudah nyebar dalam kerumunan masa, sehingga keluarlah apa yang dinamakan sosial  distancing atau phycychal distancing.Â
Sosial distancing sebagai upaya ikhtiar manusia terhindar dari marabahaya yaitu corona. Dari itu ritualitas ibadah kepada Tuhan pun secara jamaah diubah atau diganti dengan ibadah individu. Karena ada perintah suci " janganlah kalian membawa diri kepada kerusakan"
Agama dan sains sesungguhnya bersifat komplementer terlebih diera kini. Karena sains sesungguhnya alat untuk memudahkan insan hidup.
Bukankah beribadah jadi mudah denga adanya sains.Â
Dulu untuk berwudhu saja harus ke sumur atau ke sungai. Dengan bantuan sains wudhu tinggal buka kran. Untuk penerangan rumah ibadah pun tinggal pencet saklar.
Bahkan kumandang adzan tak lagi harus naik tempat tinggi atau menara sebagaimana bilal mengumandangkan Adzan, kini ada Toa dan micropon nir kabel supercanggih dengan teknologi mutahir.
Menyikapi Corona dengan pemahaman Jabariyah fatalism tentu tak sejalan dengan esensi agama yang berlaku sepanjang zaman. Dalam pandangan keagamaan fatalism mereka tidak patuh pada ayat kauniah tanda alam, atau himbauan pemerintah.Â