Indonesia kala itu, Nusantara mashurnya.
Negeri maritim terkenal armada lautnya.
Awalnya dikuasai kerajaan Tarumanwgara dan Kutai, kemudian dikuasai Sriwijaya.
Seiring kepudaran Kekuasaan Sriwijaya terkalahkan oleh kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.
Dalam catatan sejarah Sriwijaya dikenal sebagai Nusantara 1 sementara Majapahit merupakan pelanjut kekuasaan Sriwijaya yang berhasil menyatukan seluruh kepulauan Nusantara.
Seiring perputaran waktu kerajaan Majapahitpun redup, di akhir abad ke 15, Majapahit ditaklukkan oleh kerajaan Islam Demak di pantai utara Jawa dan sisa kerajaan yang masih mempertahankan budaya leluhur nya menepi dan melarikan diri ke Bali.
Dari semenjak itu, Islam tumbuh subur menyerap budaya lokal.
Islam tumbuh sebagai sumber nilai, islam hadir di Nusantara tidak memberangus kekayaan budaya lokal peninggalan bersejarah, dari itu Candi Borobudur, Prambanan, tidak diusik keberadaannya sehingga tetap terjaga hingga kini.
Ini sangat berbeda ketika Islam yang berfaham wahabi mengusai dua kota suci yaitu Makah dan Madinah, rezim itu meluluh lantahkan situs bersejarah peninggalan kekuasaan Islam periode sebelumnya.
Islam di Nusantara tetap berlangsung secara kultural, sekalipun kekuasaan kerajaan- kerajaan Islam di Nusantara pudar seiring kedatangan bangsa Eropa yang menacapkan kolonialisme.
Tepat 17 Agustus 1945, setelah berliku berjibaku mengorbankan harta dan dan puluhan ribu nyawa pejuang sebagai suhada, akhirnya Indonesia merdeka.
Soekarno - Hatta atas nama Bangsa Indonesia memploklamirkan Indonesia merdeka ke seantero Nusantara sekaligus bergaung kemancanegara.
Indonesia disepakati sebagai negara persatuan dan kesatuan, Â pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Agama sebagai spirit ruh bernegara, dari itu negara berketuhan Yang Maha Esa.
Pilihan pancasila sebagai dasar negara bukan tanpa halangan dan rintangan. Karena dalam perjalanannya terjadi perdebatan sengit antara kelompok agamis dan kelompok nasionalis.
Dengan musyawarah dan hasil kompromi akhirnya mayoritas golongan agamis bisa menerima Pancasila sebagai dasar negara. Walaupun masih ada golongan kecil yang menginginkan agama sebagai dasar negara.
Era kini setelah Indonesia mereformasi diri dari kekuasaan Orde Baru, dimana kran kebebasan dibuka lebar - lebar.
Imbas dari itu paham transnational pun ikut hadir dinegeri ini. Paham - paham ini mulai mempertanyakan keabsahan dasar negara, menganggap produk kuffur dan pantas untuk diingkari.
Nahdlatul Ulama dalam catatan sejarah beserta Ormas Muhammadiyah paling gigih melegitimasi kedudukan pancasila sebagai dasar negara.
Bahkan NU mengawali dan sekaligus bisa menerima kala Orde Baru menjadikan pancasila sebagai asas tunggal.
Kini era Jokowi  paham formalisasi agama begitu kuat dihembuskan, sehingga dalam perjalanannya dengan terpaksa penguasa melalui Perpu membubarkan Ormas anti pancasila dan NKRI.
Imbas dari itu tuduhan terhadap pemerintah sebagai anti Islam, bahkan dianggap memusuhi Islam begitu kuat dan masif melalui jejaring medsos.
Penguasa walau diterpa fitnah namun tetap bekerja dan bekerja. Bahkan semakin kokoh merangkul kalangan ulama sebagai partner dalam menjalankan roda pemerintahan, sekaligus menepis isu anti Islam.
Sebagai bukti, baru era Jokowi diperingati hari Santri, disamping ada pembacaan Sholawat dan Istighosah di Istana.
Nilai Juang Abah Yai Ma'ruf Amin
Ada Tiga hal yang sering terucapkan dalam berbagai orasi ilmiah Abah yai Ma'ruf. Ulama kata Abah Yai Ma'ruf itu harus menyiapkan santri calon ulama (faqihu fiddin) dari itu ulama harus mengajar.
dalam rangka mempersiapkan calon-calon ulama.
Selanjutnya, di samping mengajar mencetak ulama (faqihu fiddin) ulama juga harus membentuk jama 'ah (Berorganisasi). Dengan organisasi terbentuk kekuatan bersama untuk menjaga agama, termasuk melindungi agama dari kesewenang - wenangan. Beliau mencontohkan NU didirikan salah satunya untuk menjaga agama dari rongrongan. Rongrongan agama dari interpretasi menyimpang seperti aksi bunuh diri sebagai jalan jihad.
Terakhir tugas ulama yaitu menjaga bangsa nya dari kehancuran, cerai berai dan permusuhan. Dari itu diperlukan bargaining politik dalam rangka memperkuat kedudukan bangsa dan negara dari bahaya kehancuran.
Kini NKRI semakin berat tantangannya, terutama faham transnational yang menginginkan khilafah, menganggap NKRI negeri kufur.
Padahal Indonesia adalah "Dar al-'Ahdi", rumah kesepakatan, yg didalamnya telah dibentuk aturan-aturan yg mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia bukan "Dar al-Harbi", rumah peperangan.
Dalam rangka menyempurnakan tugas keulamaan, Abah Yai Ma'ruf Amin bersedia dicalonkan sebagai wakil presiden bersama mendampingi Jokowi.
Pemimpin negeri ini perlu disokong religius nasionalis mengingat semakin kuatnya rongrongan terhadap Pancasila dan NKRI.
Teranyar hasil studi Setara Institute, pada Februari-April 2019 di 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), meliputi; Universitas Indonesia (UI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB), UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Riset juga dilakukan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Mataram (Unram), dan Universitas Airlangga (Unair).
Melalui riset ini, Setara menemukan tiga wacana keagamaan yang dominan di 10 kampus tersebut. Pertama, propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi maupun bangsa, hanya bisa diraih lewat ketaatan terhadap "jalan Islam". Jalan yang dimaksud ialah Al Quran dan hadist. Sebuah pandangan puritan yang membatasi kebijaksanaan agama ini hanya di dua sumber utama tersebut.
Kedua, propaganda bahwa Islam sedang di dalam ancaman musuh-musuhnya. Musuh yang dimaksud ialah kalangan Kristen, Zionisme, imperalisme Barat, kapitalisme, serta kaum Muslim sekular dan liberal. Ketiga, ajakan untuk melakukan perang pemikiran (ghazw al-fikr) dalam rangka melawan berbagai ancaman tersebut demi kejayaan Islam.
Dengan metode terstruktur, sistematis, dan massif, gerakan tarbiyah dan eks-HTI ini berusaha menguasai lingkungan kampus. Dimulai dari penguasaan terhadap organisasi mahasiswa intra-kampus, masjid besar kampus, mushala fakultas, hingga asrama mahasiswa. Gerakan ini sudah berjalan lama, tepatnya sejak awal dekade 1980. Saat ini, gerakan tersebut sudah mapan dengan buah kaderisasi militan dan tersebar. (Syaiful Arif, Kompas, 8 Juni, 2019)
Dari gejala tersebut Syaiful Arif menekankan perlunya pendekatan religiusitas pancasila, dalam arti tidak melulu dogmatisme.
Sebagaimana ditegaskan oleh Buya Syafi'i dan Bung Hatta, Pancasila merupakan ideologi yang religius, bahkan Islami. Sila ketuhanan yang menjadi cerminan nilai-nilai tauhid, merupakan causa prima, sebab pertama bagi sila-sila di bawahnya.
Dengan pemahaman religiusitas pancasila, pada akhirnya usaha membenturkan islam dengan pancasila kehilangan momentum.
Karena tertanam konstruk tauhid sebagai pijakan " Ketuhanan Yang Maha Esa"
Tanpa sokongan religious sudah barang tentu dasar negara pancasila mengalami kepudaran. Menjadi cerita usang tentang bangsa pada akhirnya NKRI dalam bayang - bayang gulung tikar.
Ini merupakan keresahan sang Kiyai, dari itu pancasila perlu dipertahankan sebagai perekat persatuan dan kesatuan. Mengikat semua agama dalam kesepakatan bhineka tunggal ika.
Tanpa ikatan persatuan dan kesatuan pada akhirnya kehidupan beragamapun kehilangan makna karena perpecahan antar sekte dengan claim merasa paling benar.
Misi agama yang utama adalah menghargai harkat derajat kemanusiaan, melindungi nilai luhur dari itu kompatibel dengan hak azasi manusia.
Ratusan tahun lalu Al - Ghazali sang Hujatul islam merinci maqosidussyariah, esensi daripada penegakkan syar'iah yaitu : kebebasan  hidup nyaman tanpa tekanan, kebebasan dalam beragama tanpa gangguan, kebebasan memiliki harta tanpa batasan. Kebebasan berfikir ilmiah tanpa dibelenggu, dan terakhir kebebasan memiliki keturunan.
Wallahu alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H